Minggu, 11 Agustus 2024

TAKUT ZINA, TAPI BELUM NIKAH? ISLAM PUNYA OBATNYA

 


AMAZINGSEDEKAH.COM- Meresahkan! Satu kata itu yang muncul di benak sebagian besar masyarakat tatkala aturan pelaksanaan UU Kesehatan terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja resmi disahkan.

Aturan tersebut terbit dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Salah satu tujuan utamanya adalah meningkatkan layanan promotif dan preventif untuk mencegah masyarakat jatuh sakit.

Dalam Pasal 103 PP yang ditandatangani pada Jumat (26 Juli 2024) itu disebutkan bahwa layanan tersebut mencakup kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja, dalam bentuk pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.

Upaya tersebut setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses produksi; menjaga kesehatan alat reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana (KB); melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.

Kementerian Kesehatan memastikan bahwa edukasi terkait kesehatan reproduksi, termasuk penggunaan kontrasepsi, hanya ditujukan kepada remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan karena kesiapan calon ibu yang mungkin terbatas oleh masalah ekonomi atau kesehatan.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, melalui keterangan resmi yang dikutip InfoPublik pada Rabu (7/8/2024), menjelaskan bahwa edukasi terkait kesehatan reproduksi juga mencakup penggunaan kontrasepsi. Namun, penyediaan alat kontrasepsi tidak untuk semua remaja, melainkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan karena belum siap secara ekonomi atau kesehatan. Sesuai dengan ketentuan dalam PP terkait, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko.

Alat kontrasepsi merupakan sarana yang digunakan untuk mencegah atau menunda kehamilan. Alat ini bekerja untuk menghambat pertemuan sel sperma dan sel telur. Tujuan lain dari kontrasepsi adalah menghambat pematangan sel telur serta mencegah penularan penyakit menular seksual.

Walaupun masyarakat dihimbau agar tidak salah mengartikan PP tersebut di atas, tetapi polemik tetap terjadi. Sebagian besar pihak menilai pelaksanaan PP ini berbahaya, sebab narasi kesehatan reproduksi remaja justru diarahkan sesuai mindset kebebasan ala Barat. Ironisnya, sosialisasi larangan menikah dini intensif dilakukan, tapi alat kontrasepsi malah disediakan untuk remaja. Dengan kata lain, PP terutama pasal 103 secara tersirat memberi lampu hijau bagi seks bebas di kalangan remaja.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur persoalan ini secara tuntas. Sejatinya, kebijakan pelayanan kesehatan Islam berpijak di atas sejumlah prinsip yang sahih. Terutama bagian yang bertujuan untuk merawat kesehatan sistem reproduksi dan potensi melangsungkan keturunan.

Menikah satu-satunya jalan halal menyalurkan seksualitas. Foto : Amazing Sedekah/Canvapro

Alhasil, upaya promotif, preventif, dan kuratif dalam Islam, menjauhkan unsur fahisyah (perbuatan keji) dan orientasi profit sehingga meniscayakan maksimalnya faedah potensi berketurunan setiap individu. Juga menjamin terwujudnya kebahagiaan, kesejahteraan, kemuliaan, ketenangan, dan terhindarnya masyarakat dari kebejatan moral serta kerendahan tingkah laku.

Islam mengajarkan dasar-dasar kesehatan reproduksi yang sesuai akidah, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam berpandangan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan naluri seks adalah demi kelestarian ras manusia. Keberadaan naluri tersebut dalam diri manusia akan menumbuhkan ketertarikan terhadap lawan jenis. Firman-Nya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS An-Nisa: 1).

Kedua, seluruh perbuatan manusia wajib terikat syariat demi mengharapkan rida Allah Subhanahu Wa Ta’ala, termasuk saat mengatur cara memenuhi kebutuhan naluri seksual. Itulah tujuan kebahagiaan bagi seorang muslim

Juga dalam pemenuhan kebutuhan fisik terawatnya kesehatan sistem reproduksi setiap insan. Firman-Nya, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada Allah Taala.” (QS Az-Zariyat: 56).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan aturan tentang bagaimana pemenuhan terhadap naluri yang disebut dengan istilah gharizah nau’ ini, yaitu dengan menikah. Namun, jika tidak mampu menikah, Islam menganjurkan agar naluri tersebut diredam dengan jalan berpuasa dan memperbanyak amal ibadah. Bukannya malah disalurkan lewat zina yang difasilitasi alat kontrasepsi.

Perbanyak amal shalih untuk menahan diri dari hawa nafsu. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro

Gharizah nau merupakan salah satu potensi hidup yang bangkit jika ada stimulasi dari luar diri manusia. Jika tidak terpenuhi hanya akan menimbulkan kegelisahan. Faktor pemicu bangkitnya naluri itu berawal dari memandang aurat lawan jenis, ikhtilat, khalwat, serta terpapar konten pornografi atau pornoaksi lewat buku, film, atau media sosial. Jadi agar naluri tersebut tidak bangkit, hal-hal tersebut harus dihindari.

Adanya larangan zina dan sanksi yang tegas dalam Islam terhadap pelaku zina, juga metode preventif yang jitu terhadap pengendalian naluri seksual ini agar individu takut melakukan zina.

Ketiga, Islam berpandangan bahwa kesehatan adalah puncak kepentingan dan kenikmatan yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw., “Mohonlah ampunan dan afiat (kesehatan) kepada Allah karena seseorang tidaklah diberi sesuatu yang lebih baik setelah keimanan dari afiat.” (HR Ibnu Majah).

Juga sabdanya, “Sesungguhnya perkara seorang hamba yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah bahwasanya ia akan ditanya, ‘Bukankah telah diberikan kesehatan jasadmu.’” (HR Hakim). Alhasil, setiap individu akan berupaya merawat kesehatan dan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Keempat, Islam menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik, bukan jasa dan komoditas komersial. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.(HR Bukhari).

Kelima, negara adalah pihak yang bertanggung jawab secara langsung terhadap terlaksananya pelayanan kesehatan dan penegakan pilar-pilar sistem kesehatan.

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabdanya, “Imam/khalifah itu laksana gembala, dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap yang digembalakannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Kontributor: Ummu Salwa. 

Author, editor, dan pegiat literasi muslimah.