Kamis, 19 Desember 2024

Indahnya Toleransi dalam Islam: Memperkuat Jati Diri Muslim, Tanpa Melukai

Toleransi dalam Islam

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Ramainya “war” takjil dari nonmuslim di bulan Ramadhan beberapa waktu lalu, masih terasa panasnya. Jelang akhir tahun, viral di tiktok “war” pernak-pernik dan kue natal yang katanya sebagai ajang balas dendam umat Islam, karena sewaktu bulan puasa, para nonmuslim berbondong-bondong menyerbu kudapan buka puasa di pasar-pasar.

“War” tersebut dijadikan bahan candaan dan dianggap sebagai seni bertoleransi antar umat beragama. Bahkan saling mengucapkan selamat hari raya bagi umat agama lain dipandang sebagai bentuk toleransi. Jika umat Islam tidak melakukannya, akan dituding anti toleran.

Persepsi terhadap istilah toleransi semakin kebablasan, melenceng dari makna hakikinya dalam ajaran Islam. Tak cukup memberi ucapan selamat natal, sebagian kaum muslim juga ikut menggunakan pernak-perniknya, berniat memborong pohon natal dan kue khasnya, bahkan ada yang ikut misa di gereja-gereja.

Belum lagi lokasi-lokasi berdekorasi natal yang dinarasikan instagramable untuk berfoto. Semua diburu oleh masyarakat muslim yang tertarik memperoleh foto, karena menurut mereka spot-nya bagus. Foto-foto tersebut mereka pajang di akun media sosial tanpa peduli atribut dan dekorasi yang bertentangan dengan akidah Islam.

Toleransi keblablasan
Ilustrasi salah kaprah memaknai toleransi berakibat tergadainya aqidah Islam. Foto: Kchungtw/Canva

Alih-alih bertoleransi dengan tetap mempertahankan akidah, ibadah, dan simbol-simbol Islam, sebagian umat Islam malah kehilangan identitas muslimnya.

Sungguh, toleransi semacam ini bertentangan dengan akidah Islam. Wujud toleransi lebih kental dengan pencampuran ajaran Islam dengan ide-ide dari luar Islam. Toleransi juga digambarkan berupa ucapan selamat hari raya dari kaum muslim kepada nonmuslim, padahal itu toleransi versi sekuler yang tentu saja maknanya keliru dan menyesatkan kaum muslim.

Yang menyedihkan, alasan toleransi itu pula yang membuat sebagian ulama memperbolehkan ucapan selamat natal. Bahkan disinyalir, ucapan tersebut dianggap tidak berpengaruh terhadap keimanan. Dilansir dari https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7107473/hukum-mengucapkan-selamat-natal-dalam-islam-muslim-wajib-tahu, salah satu pemuka agama yang memiliki pandangan mengucapkan selamat Natal itu diperbolehkan dalam Islam adalah Husein Ja'far Al Haddar. Pandangannya tersebut disampaikan dalam kanal resmi SALAAM Indonesia yang diunggah pada 2019 silam.

Dirinya menjelaskan terdapat banyak perbedaan pendapat di antara ulama yang memperbolehkan dan mengharamkan mengucapkan selamat Natal kepada umat nasrani yang merayakan. Namun, ustaz yang lebih dikenal dengan Habib Ja'far ini cenderung pada pendapat bahwa hal itu diperbolehkan.

Pandangannya itu, salah satunya didasarkan pada surat Maryam ayat 33 yang menyebut keselamatan atas kelahiran Nabi Isa AS juga merupakan keyakinan umat muslim. Habib Ja'far menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam pernah mengheningkan cipta sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah seorang Yahudi. Ketika ditanya alasannya menghormati jenazah yang tidak seiman, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam menjawab bahwa kita harus menghormatinya sebagai sesama manusia.

"Artinya karena keimanan kita berbeda dengan umat Kristiani maka tidak ada masalah dengan landasan keimanan kita bahwa Isa adalah nabi kita maka kita mengucapkan selamat atas kelahiran nabi Allah Isa dan artinya kita diperbolehkan mengucapkan selamat Natal," ujar Habib Ja'far yang dikutip detikSulsel pada Selasa (06/12/2023).

Pernyataan tersebut tentu tidak dapat dibenarkan, karena bukan toleransi semacam itu yang seharusnya dipahami dalam syariat. Yang terjadi malah kaum muslimin yang mayoritas seolah-olah “diharuskan” untuk menghormati minoritas (nonmuslim) dengan jalan mengucapkan selamat natal dan hari raya agama lainnya. Ini adalah toleransi versi sekuler yang bisa merobohkan keimanan kaum muslim sebagai akibat minimnya pemahaman umat sehingga mereka mudah terbawa arus yang bertentangan dengan syariat Islam. Toleransi tersebut justru bertujuan mengaburkan akidah umat Islam.

Kenyataannya, makna natal secara umum bagi umat nasrani adalah ibadah dalam rangka memperingati kelahiran tuhan yesus kristus yang mereka anggap sebagai anak Allah dan juru selamat manusia. Jelas sekali bahwa perayaan natal merupakan tradisi yang dilandasi pandangan hidup mereka, menyangkut hubungan dengan apa yang mereka yakini sebagai tuhan. Dengan kata lain, perayaan natal adalah hadlarah bagi kaum nonmuslim.

Dalam kitab Nizhamul Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, hadlarah bermakna sekumpulan pemahaman tentang kehidupan yang bersifat khas, terkait pandangan hidup. 

Seorang muslim wajib menyesuaikan seluruh cara hidupnya sesuai hadlarah Islam. Haram hukumnya mengikuti tradisi yang bertentangan dengan hadlarah Islam. Termasuk mengucapkan selamat natal dan memakai pernak-pernik terkait perayaan agama tersebut. Ini karena tradisi natal termasuk hadlarah yang bertentangan dengan Islam.

Allah Taala berfirman, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah, agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 1—6).

Allah Taala juga berfirman dalam ayat, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Oleh karena itu barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah [2]: 256).

Demikianlah ayat-ayat yang menunjukkan batasan konsep toleransi menurut syariat Islam. Allah juga berfirman dalam ayat, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 42).

Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam, “Sesungguhnya perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar.” (Muttafaqun ‘alaih).

Islam tidak memiliki satu pun ajaran untuk bersikap intoleran. Jika ada pihak-pihak yang menyatakan umat Islam intoleran, hal itu jelas fitnah dan tudingan yang tidak berdasar. Islam justru sudah mengajarkan dan mengatur perihal toleransi sejak Islam pertama kali datang.

Islam juga memiliki definisi yang jelas soal pelanggaran hukum syara’, yakni segala sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Aktivitas meyakini dan mengadopsi ajaran dari luar Islam adalah pelanggaran hukum syara’. Termasuk dalam hal penggunaan atribut natal, mengucapkan selamat hari raya agama tersebut, maupun aktivitas perayaan tahun baru masehi. Jadi sikap kaum muslim saat momen natal bukan soal toleran atau intoleran.

Toleransi jelang natal yang muncul saat ini sejatinya mencampuradukkan ajaran Islam dengan Nasrani, berikut budaya dan tradisi apa pun yang menyertainya. Ini tidak layak diambil oleh umat Islam karena menampilkan aktivitas menyerupai umat selain Islam. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam, “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud).

Hendaklah kita memperhatikan bahwa kata “tasyabbuh” (menyerupai) berasal dari wazan “tafa’ul” dalam bahasa Arab, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Kata kerja dengan wazan “tafa’ul” ini mengandung makna bahwa perbuatan tasyabbuh dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya seseorang merasa terpaksa dengan perbuatan ini hingga lama-lama ia menurut dan terbiasa mengerjakannya. Inilah yang harus kita waspadai dan tentunya jangan sampai kita lakukan.

Mengucapkan selamat Natal termasuk melanggar ajaran Islam
Ilustrasi praktek toleransi yang diperbolehkan Islam salah satunya membiarkan mereka melakukan ibadahnya tanpa mengganggu. Foto: Pressmaster/Canva

Demikianlah gambaran toleransi dalam ajaran Islam, yakni tanpa harus mencampuradukkan ajaran Islam dengan agama lain. Selain itu, Islam juga mengharuskan negara untuk menjaga akidah kaum muslim, tanpa mengaburkan identitasnya ketika bertoleransi dengan ahlu dzimmah (nonmuslim) yang menjadi warga negara dalam kekuasaan Islam. Fakta sejarah keindahan toleransi tersebut dalam Islam telah terjadi berabad-abad lamanya sepanjang tegaknya peradaban Islam. Wallahualam bissawab. [EL]

 

***

 

Kontributor: Ummu Salwa, Writer dan Pegiat Literasi.