AMAZINGSEDEKAH.COM- Ramainya “war” takjil dari nonmuslim di bulan Ramadhan beberapa waktu lalu, masih terasa panasnya. Jelang akhir tahun, viral di tiktok “war” pernak-pernik dan kue natal yang katanya sebagai ajang balas dendam umat Islam, karena sewaktu bulan puasa, para nonmuslim berbondong-bondong menyerbu kudapan buka puasa di pasar-pasar.
“War”
tersebut dijadikan bahan candaan dan dianggap sebagai seni bertoleransi antar
umat beragama. Bahkan saling mengucapkan selamat hari raya bagi umat agama lain
dipandang sebagai bentuk toleransi. Jika umat Islam tidak melakukannya, akan
dituding anti toleran.
Persepsi
terhadap istilah toleransi semakin kebablasan, melenceng dari makna hakikinya
dalam ajaran Islam. Tak cukup memberi ucapan selamat natal, sebagian kaum
muslim juga ikut menggunakan pernak-perniknya, berniat memborong pohon natal
dan kue khasnya, bahkan ada yang ikut misa di gereja-gereja.
Belum
lagi lokasi-lokasi berdekorasi natal yang dinarasikan instagramable
untuk berfoto. Semua diburu oleh masyarakat muslim yang tertarik memperoleh
foto, karena menurut mereka spot-nya bagus. Foto-foto tersebut mereka
pajang di akun media sosial tanpa peduli atribut dan dekorasi yang bertentangan
dengan akidah Islam.
![]() |
Ilustrasi salah kaprah memaknai toleransi berakibat tergadainya aqidah Islam. Foto: Kchungtw/Canva |
Alih-alih
bertoleransi dengan tetap mempertahankan akidah, ibadah, dan simbol-simbol
Islam, sebagian umat Islam malah kehilangan identitas muslimnya.
Sungguh,
toleransi semacam ini bertentangan dengan akidah Islam. Wujud toleransi lebih
kental dengan pencampuran ajaran Islam dengan ide-ide dari luar Islam.
Toleransi juga digambarkan berupa ucapan selamat hari raya dari kaum muslim
kepada nonmuslim, padahal itu toleransi versi sekuler yang tentu saja maknanya
keliru dan menyesatkan kaum muslim.
Yang
menyedihkan, alasan toleransi itu pula yang membuat sebagian ulama
memperbolehkan ucapan selamat natal. Bahkan disinyalir, ucapan tersebut dianggap
tidak berpengaruh terhadap keimanan. Dilansir dari https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7107473/hukum-mengucapkan-selamat-natal-dalam-islam-muslim-wajib-tahu, salah satu pemuka agama yang memiliki pandangan
mengucapkan selamat Natal itu diperbolehkan dalam Islam adalah Husein Ja'far Al
Haddar. Pandangannya tersebut disampaikan dalam kanal resmi SALAAM Indonesia
yang diunggah pada 2019 silam.
Dirinya menjelaskan terdapat banyak perbedaan pendapat
di antara ulama yang memperbolehkan dan mengharamkan mengucapkan selamat Natal kepada
umat nasrani yang merayakan. Namun, ustaz yang lebih dikenal dengan Habib
Ja'far ini cenderung pada pendapat bahwa hal itu diperbolehkan.
Pandangannya itu, salah satunya didasarkan pada surat Maryam ayat 33 yang menyebut keselamatan atas kelahiran Nabi Isa AS juga merupakan keyakinan umat muslim. Habib Ja'far menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam pernah mengheningkan cipta sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah seorang Yahudi. Ketika ditanya alasannya menghormati jenazah yang tidak seiman, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam menjawab bahwa kita harus menghormatinya sebagai sesama manusia.
"Artinya karena keimanan kita berbeda dengan umat
Kristiani maka tidak ada masalah dengan landasan keimanan kita bahwa Isa adalah
nabi kita maka kita mengucapkan selamat atas kelahiran nabi Allah Isa dan
artinya kita diperbolehkan mengucapkan selamat Natal," ujar Habib Ja'far
yang dikutip detikSulsel pada Selasa (06/12/2023).
Pernyataan tersebut tentu tidak dapat dibenarkan,
karena bukan toleransi semacam itu yang seharusnya dipahami dalam syariat. Yang
terjadi malah kaum muslimin yang mayoritas seolah-olah “diharuskan”
untuk menghormati minoritas (nonmuslim) dengan jalan mengucapkan selamat natal
dan hari raya agama lainnya. Ini adalah toleransi versi sekuler yang bisa
merobohkan keimanan kaum muslim sebagai akibat minimnya pemahaman umat sehingga
mereka mudah terbawa arus yang bertentangan dengan syariat Islam. Toleransi
tersebut justru bertujuan mengaburkan akidah umat Islam.
Kenyataannya, makna natal secara umum bagi umat
nasrani adalah ibadah dalam rangka memperingati kelahiran tuhan yesus kristus
yang mereka anggap sebagai anak Allah dan juru selamat manusia. Jelas sekali
bahwa perayaan natal merupakan tradisi yang dilandasi pandangan hidup mereka,
menyangkut hubungan dengan apa yang mereka yakini sebagai tuhan. Dengan kata
lain, perayaan natal adalah hadlarah bagi kaum nonmuslim.
Dalam kitab Nizhamul Islam karya Syekh Taqiyuddin
An-Nabhani, hadlarah bermakna sekumpulan pemahaman tentang kehidupan yang
bersifat khas, terkait pandangan hidup.
Seorang muslim wajib menyesuaikan seluruh cara
hidupnya sesuai hadlarah Islam. Haram hukumnya mengikuti tradisi yang
bertentangan dengan hadlarah Islam. Termasuk mengucapkan selamat natal dan
memakai pernak-pernik terkait perayaan agama tersebut. Ini karena tradisi natal
termasuk hadlarah yang bertentangan dengan Islam.
Allah
Taala berfirman, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan
untukkulah, agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 1—6).
Allah
Taala juga berfirman dalam ayat, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Oleh karena itu barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS
Al-Baqarah [2]: 256).
Demikianlah
ayat-ayat yang menunjukkan batasan konsep toleransi menurut syariat Islam.
Allah juga berfirman dalam ayat, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak
dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu
mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 42).
Hal ini
dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam, “Sesungguhnya
perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas. Dan di antara
keduanya ada perkara-perkara yang samar.” (Muttafaqun ‘alaih).
Islam
tidak memiliki satu pun ajaran untuk bersikap intoleran. Jika ada pihak-pihak
yang menyatakan umat Islam intoleran, hal itu jelas fitnah dan tudingan yang
tidak berdasar. Islam justru sudah mengajarkan dan mengatur perihal toleransi
sejak Islam pertama kali datang.
Islam
juga memiliki definisi yang jelas soal pelanggaran hukum syara’, yakni segala
sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Aktivitas
meyakini dan mengadopsi ajaran dari luar Islam adalah pelanggaran hukum syara’.
Termasuk dalam hal penggunaan atribut natal, mengucapkan selamat hari raya agama
tersebut, maupun aktivitas perayaan tahun baru masehi. Jadi sikap kaum muslim
saat momen natal bukan soal toleran atau intoleran.
Toleransi
jelang natal yang muncul saat ini sejatinya mencampuradukkan ajaran Islam
dengan Nasrani, berikut budaya dan tradisi apa pun yang menyertainya. Ini tidak
layak diambil oleh umat Islam karena menampilkan aktivitas menyerupai umat
selain Islam. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam, “Barang
siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Abu
Dawud).
Hendaklah
kita memperhatikan bahwa kata “tasyabbuh” (menyerupai) berasal dari wazan
“tafa’ul” dalam bahasa Arab, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf
(memaksa), tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan.
Kata kerja dengan wazan “tafa’ul” ini mengandung makna bahwa perbuatan
tasyabbuh dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya seseorang merasa
terpaksa dengan perbuatan ini hingga lama-lama ia menurut dan terbiasa
mengerjakannya. Inilah yang harus kita waspadai dan tentunya jangan sampai kita
lakukan.
![]() |
Ilustrasi praktek toleransi yang diperbolehkan Islam salah satunya membiarkan mereka melakukan ibadahnya tanpa mengganggu. Foto: Pressmaster/Canva |
Demikianlah
gambaran toleransi dalam ajaran Islam, yakni tanpa harus mencampuradukkan
ajaran Islam dengan agama lain. Selain itu, Islam juga mengharuskan negara
untuk menjaga akidah kaum muslim, tanpa mengaburkan identitasnya ketika
bertoleransi dengan ahlu dzimmah (nonmuslim) yang menjadi warga negara dalam
kekuasaan Islam. Fakta sejarah keindahan toleransi tersebut dalam Islam telah terjadi
berabad-abad lamanya sepanjang tegaknya peradaban Islam. Wallahualam bissawab. [EL]
***
Kontributor: Ummu Salwa, Writer dan Pegiat Literasi.