AMAZINGSEDEKAH.COM- Astaghfirullah, Innalillaahi …. Beberapa waktu lalu media dikejutkan berita seorang anak usia 14 tahun yang tega membunuh Ayah dan nenek, serta menikam ibunya sampai kritis. Tindakan kejam tak terperi itu tak disangka bisa dilakukan anak yang terlihat baik-baik dan lurus-lurus saja.
Ada dugaan bahwa motif pelaku adalah karena
frustrasi akibat gagal memenuhi harapan keluarga untuk masuk sekolah favorit.
Dari penelusuran berbagai media, ditemukan bahwa anak berinisial MAS tersebut
ternyata senang membaca sebuah komik populer bertema dark 21+ yang berisi
konten kekerasan. Tokoh-tokoh utama dalam komik tersebut digambarkan punya sisi
baik dan buruk yang tidak jelas standarnya. Padahal, kita terbiasa dengan
karakter yang sudah jelas baik atau buruknya.
![]() |
Ilustrasi bahayanya mengkases informasi yang salah. Foto: Octavian Grigorecu's/Canva |
Dalam komik favorit MAS, protagonisnya hidup
penuh depresi, ujian beruntun, anti-hero, dan mudah mengamuk. Antagonisnya,
justru digambarkan begitu sempurna, tapi menyimpan setitik kegelapan di
dalamnya. Hal ini karena motivasi serta egonya yang pada satu titik membuatnya
rela mengorbankan orang-orang yang selama ini mendukungnya, termasuk membunuh
mereka. Akibat keputusasaan, dendam pribadi dan ambisi yang bangkit kembali.
Demikian tulisan yang dikutip dari akun Facebook Mila Anasanti.
Hakikatnya, tatkala seorang anak sering
terpapar cerita atau gambar kekerasan, otaknya akan memproses itu sebagai
bagian dari realitas emosionalnya, apalagi di masa-masa mumayyiz ketika
kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk baru terbentuk. Konten seperti itu
tersimpan dalam memorinya sebagai informasi yang membentuk pemahaman, sehingga
mempengaruhi anak untuk melakukan hal serupa.
Menarik apa yang dijelaskan Syekh Taqiyuddin
An-Nabhani dalam kitab At-Tafkir tentang proses berpikir dalam diri
manusia. Bahwasanya, pemikiran merupakan pemindahan penginderaan terhadap fakta
melalui panca indera ke dalam otak, disertai adanya informasi-informasi
terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Berproses
berpikir tersebutlah yang membentuk persepsi hingga mempengaruhi tingkah laku
manusia.
Beberapa penelitian psikologi membuktikan
bahwa informasi yang tertanam dalam otak manusia, akan membentuk persepsi dan
berpengaruh terhadap perilaku manusia. Ketika seorang anak—contohnya
MAS—terpapar konten kekerasan terus-menerus lewat komik atau media sosial, maka
memorinya akan merekam sikap tokoh-tokoh dalam konten tersebut. Perilakunya
yang terbentuk, akan sesuai rekaman informasi dalam memorinya. Sungguh
berbahaya.
Para penulis harus memperhatikan dampak
tulisan terhadap pembentukan karakter dan kepribadian generasi, karena tulisan
atau kontennya menjadi sumber informasi bagi proses berpikir generasi.
Sebagian penulis yang menempuh jalur fiksi
Islami, juga mesti berhati-hati terhadap jebakan karakterisasi fiksi ini. Tak
bisa dipungkiri, fiksi Islami kian digemari oleh remaja milenial yang berproses
hijrah. Ini peluang di tengah geliat minat baca yang rendah.
Sayangnya, sebagian cerita-cerita tersebut
sebagian besar nuansa Islaminya terkesan tempelan saja. Napas Islam sebatas
sapaan Assalamu'alaikum, panggilan Ukhti, Akhi, tokohnya yang hafidz Al-Qur'an,
tokohnya yang berjilbab lebar, dan seterusnya. Islam tidak menjadi ruh yang
menjiwai cerita atau tak memiliki life style Islam.
Secara isi, cerita-cerita tersebut, tidak
menggambarkan cerita Islami yang seharusnya terikat dengan hukum syara' serta
menggambarkan secara konkrit baik buruk atau benar salah sesuai Islam.
Sesungguhnya, kekuatan sebuah cerita,
memengaruhi cara berpikir kaum millenial. Mereka bisa sangat terinspirasi
sebuah cerita sehingga mengidolakan penulisnya. Termasuk mengadopsi pemikiran
penulisnya.
Bayangkan jika cerita Islami tersebut justru
sarat nilai kebebasan. Memakai baju Islami, tetapi isinya membenarkan
kemaksiatan. Kaum millenial akan memahami bahwa cerita tersebut bukan kemaksiatan,
atau kemaksiatan tersebut boleh dalam Islam.
Realitas ini menumbuhkan dorongan sebagian
teman-teman untuk menetapkan diri di jalur kepenulisan fiksi Islami. Namun,
terkadang, style penulisan yang kurang memikat, dan cerita yang kurang kuat
dari sisi konflik dan karakter, membuat tulisan fiksi kurang dilirik. Padahal,
berharap pembaca awam bisa tercerahkan dengan tulisan tersebut.
Seorang penulis muslim, harusnya mempunyai
kekuatan konten berbekal tsaqofah yang luas. Hanya saja, gaya penulisan
fiksi tentu saja tidak sama dengan opini, yang bisa memberikan analisis secara
gamblang.
![]() |
Ilustrasi penulis harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang ditulikannya. Foto: geralt/canva |
Di sini kadang kelemahan penulis muslim
bervisi dakwah. Terlalu menjejalkan konten dakwah ke dalam tulisan fiksi
sehingga melupakan elemen-elemen fiksi yang memperkuat cerita. Kita memasukkan
konten Islami, tanpa melihat kesesuaiannya dengan alur dan plot cerita, bahkan
tidak menyatu dengan karakter tokoh. Akibatnya, penanaman nilai kurang
membekas.
Cara mengeceknya sebenarnya tidak sulit.
Seandainya sebuah dialog atau narasi Islam itu dihapus dari cerita, apakah
berpengaruh terhadap kemajuan konflik dan solusi cerita, ataukah tidak. Jika
cerita tetap berjalan tanpa ada konten tersebut, berarti nilai Islam hanya
tempelan di situ.
Dalam dunia fiksi Islami hari ini, ada sebagian
karya yang mengabaikan pesan Islam dalam cerita. Mengabaikan pula keterikatan
hukum syara' tokoh-tokohnya. Sebagian penulis fiksi Islami cenderung mengikuti
selera pasar dari sisi tema, konflik, dan bahkan dari sisi pemilihan judul.
Dengan alasan, agar pembaca tertarik membaca, me-like, komen dan membeli
koin atau membeli cerita penulis. Di balik judul-judul seronok atau tabu itu,
mereka menyelipkan konten dakwah. Hal tersebut sebenarnya malah menodai citra
Islam dan dakwah itu sendiri. Ini terjadi karena terbawa perasaan, lalu
menuruti maunya pembaca dan menggadaikan adab serta penancapan hukum syara'
dalam cerita.
Ada beberapa catatan ketika menulis fiksi
Islam agar yang ditulis berbuah kebaikan, dan bahkan menginspirasi.
Pertama, niatkan untuk
syi'ar, sehingga sebisa mungkin ada dakwah dalam amanat cerita, ada dakwah juga
dalam plot cerita kita.
Jadi jangan mengangkat tema pelakor hanya
untuk bikin baper dan emosi emak-emak. Angkat tema pelakor untuk diluruskan.
Bagaimana syari'ah Islam mencegah kehadiran pelakor dengan keterikatan tokohnya
terhadap hukum syara'.
Sejatinya, ide yang ditulis seorang penulis
fiksi, kemudian disebarkan, sedikit banyaknya pasti akan berdampak kepada
pembaca. Sungguh miris melihat fenomena sebagian penulis yang berlomba-lomba
menulis cerita di berbagai platform online dengan tema yang sesuai selera
pasar, tanpa memperhatikan dampaknya bagi generasi. Mereka membuat judul click
bait yang kontroversial atau tabu. Tujuannya agar banyak yang kepo.
Semakin banyak yang baca, semakin deras fee-nya.
Bukannya tidak boleh menulis untuk mendapatkan
penghasilan, tetapi hendaknya sebagai penulis muslim, terlebih dulu memahami
batasan syariah dalam menulis. Bagaimana baik buruknya tulisan tersebut dalam
pandangan hukum Islam. Memperkuat niat utama, menulis untuk kebaikan.
Setidaknya, minimal penulis memiliki tanggung jawab moral, yaitu selalu
mempertimbangkan sebesar apa efek tulisan yang akan dibaca orang banyak.
Kedua, berhati-hati
dalam karakterisasi tokoh. Tokoh yang tidak sempurna lebih disukai. Gambarkanlah
proses si tokoh menjadi baik. Namun, selama proses si tokoh menjadi baik, jika
ada kemaksiatan yang dilakukan si tokoh sebagai kebutuhan alur cerita, suasana
ceritanya bukan untuk membenarkan. Sebagaimana yang diuraikan di atas, tetap
harus dipandu.
Tatkala menampilkan tokoh yang bermaksiat,
tetap harus digambarkan secara gamblang bahwa itu keburukan. Jangan malah
dimaklumi hanya karena si tokoh punya masa lalu yang kelam, sehingga timbul
kesan bahwa orang jahat sebenarnya orang baik yang tersakiti. Hindari pula sikap
tokoh yang berada dalam wilayah abu-abu, alias tak jelas dia baik atau buruk, sehingga
ada pemakluman realitas bahwa sebuah perbuatan baik tak bisa dikatakan
benar-benar baik, atau sebaliknya perbuatan jahat tokoh tak bisa diklaim
betul-betul jahat. Seperti tokoh Joker yang sempat viral beberapa tahun lalu.
Cerita fiksi tanpa standar atau membiarkan
pembacanya menilai sendiri, sangat berbahaya. Itulah cerminan fiksi sekuler
liberal. Seorang penulis fiksi Islami harus menghindari penulisan cerita yang
menyerahkan penilaian pada pembaca.
Ketiga, berhati-hati
terhadap detail cerita. Usahakan para tokoh utama dalam cerita kita tidak
berkhalwat, tetap menjaga izzah, tidak bermaksiat, dan lain-lain.
Jika dibutuhkan kemaksiatan tokoh sebagai
bagian dari alur, irama ceritanya bukan untuk membenarkan. Harus ditunjukkan dengan
gamblang bahwa itu kesalahan.
Keempat, suasana cerita yang tidak menunjukkan
kesalahan, atau dengan kata lain, membenarkan kemaksiatan, harus segera di-frame.
Maksudnya diberi bingkai atau koreksi, langsung di dalam cerita, jika itu
cerpen. Dan langsung di bab yang kita posting, jika itu cerbung di sosial
media.
Caranya bisa dengan menghadirkan tokoh lain
untuk menasihati dalam dialog. Atau tokoh tersadarkan oleh suatu peristiwa.
Bisa pula dikemas dalam narasi.
Saat ini, masih banyak cerita yang berlogo
religi atau Islami, yang justru mengabaikan keterikatan hukum syara'. Sadar
atau tidak sadar, ditulis karena kekurangpahaman penulisnya.
Sering teridentifikasi adalah tokoh yang
berkhalwat. Sebenarnya, romance itu boleh, tapi ada batasannya. Kalau tokohnya
sampai ketemu dua--duaan, itu maksiat namanya. Harus ada frame yang
menjelaskan ketidakbolehan itu.
Hanya penulislah yang mampu mengendalikan
kemana arah kapal penulisan akan dibawa. Berpahala jika diarahkan pada
kebaikan. Dosa jariah jika dibawa pada keburukan atau patokan yang abu-abu.
Maka dari itu, jangan sampai irama atau ritme
cerita penulis terkesan membenarkan kemaksiatan yang ditulis. Akibatnya fatal
kalau penulis tidak merasa berkepentingan untuk meluruskan. Atau menunda
meluruskannya di akhir bab.
Kelima, setiap
kemaksiatan yang ada dalam cerita kita luruskan di bab yang sama atau bab yang
tidak terlalu jauh. Jangan di bab-bab akhir. Sebab tidak dijamin pembaca
bertahan membaca cerita kita sampai akhir. Kalau dia meninggalkan cerita kita
tanpa sempat membaca pelurusannya, pembaca akan menangkap jika kemaksiatan yang
ada dalam cerita adalah boleh.
Sayang sekali, dakwahnya tidak sampai, malah
keburukan yang membekas. Berhati-hatilah terhadap dosa jariah.
Keenam, bermain
cantiklah dalam menyusun kata. Sebisa mungkin setiap konten dakwah yang kita
selipkan tidak menggurui. Kalau menggurui cenderung membosankan dan cerita kita
akan ditinggalkan.
Mengutip perkataan Ust. Syaif M Isa (novelis
fiksi historis), "Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat
menyenangkan. Jika amal seseorang terputus setelah kematian, maka dengan
menulis kita bisa memanjangkan catatan amal kita, selama kita menuliskan
kebaikan."
Hati-hati, kita pun bisa mengumpulkan dosa
jariah dari cerita yang kita buat. Wahai para penulis, konten kreator, dan
pelaku industri media, mari saling mengingatkan. Takutlah kepada Allah, karena setiap
tulisan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Na'udzubillahi min
dzalik.[EL]
Kontributor: Ummu Salwa (Eva Liana). Novelis, writer, editor, dan
pegiat literasi Kalsel.