Jumat, 03 Januari 2025

Hati-hati Sebelum Menulis Fiksi: Pahami dari Sisi Syar'i

Aturan Menulis Fiksi secara Syar'i

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Astaghfirullah, Innalillaahi …. Beberapa waktu lalu media dikejutkan berita seorang anak usia 14 tahun yang tega membunuh Ayah dan nenek, serta menikam ibunya sampai kritis. Tindakan kejam tak terperi itu tak disangka bisa dilakukan anak yang terlihat baik-baik dan lurus-lurus saja.

Ada dugaan bahwa motif pelaku adalah karena frustrasi akibat gagal memenuhi harapan keluarga untuk masuk sekolah favorit. Dari penelusuran berbagai media, ditemukan bahwa anak berinisial MAS tersebut ternyata senang membaca sebuah komik populer bertema dark 21+ yang berisi konten kekerasan. Tokoh-tokoh utama dalam komik tersebut digambarkan punya sisi baik dan buruk yang tidak jelas standarnya. Padahal, kita terbiasa dengan karakter yang sudah jelas baik atau buruknya.

Akibat paparan informasi yang salah
Ilustrasi bahayanya mengkases informasi yang salah. Foto: Octavian Grigorecu's/Canva

Dalam komik favorit MAS, protagonisnya hidup penuh depresi, ujian beruntun, anti-hero, dan mudah mengamuk. Antagonisnya, justru digambarkan begitu sempurna, tapi menyimpan setitik kegelapan di dalamnya. Hal ini karena motivasi serta egonya yang pada satu titik membuatnya rela mengorbankan orang-orang yang selama ini mendukungnya, termasuk membunuh mereka. Akibat keputusasaan, dendam pribadi dan ambisi yang bangkit kembali. Demikian tulisan yang dikutip dari akun Facebook Mila Anasanti.

Hakikatnya, tatkala seorang anak sering terpapar cerita atau gambar kekerasan, otaknya akan memproses itu sebagai bagian dari realitas emosionalnya, apalagi di masa-masa mumayyiz ketika kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk baru terbentuk. Konten seperti itu tersimpan dalam memorinya sebagai informasi yang membentuk pemahaman, sehingga mempengaruhi anak untuk melakukan hal serupa.

Menarik apa yang dijelaskan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab At-Tafkir tentang proses berpikir dalam diri manusia. Bahwasanya, pemikiran merupakan pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak, disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Berproses berpikir tersebutlah yang membentuk persepsi hingga mempengaruhi tingkah laku manusia.

Beberapa penelitian psikologi membuktikan bahwa informasi yang tertanam dalam otak manusia, akan membentuk persepsi dan berpengaruh terhadap perilaku manusia. Ketika seorang anak—contohnya MAS—terpapar konten kekerasan terus-menerus lewat komik atau media sosial, maka memorinya akan merekam sikap tokoh-tokoh dalam konten tersebut. Perilakunya yang terbentuk, akan sesuai rekaman informasi dalam memorinya. Sungguh berbahaya.

Para penulis harus memperhatikan dampak tulisan terhadap pembentukan karakter dan kepribadian generasi, karena tulisan atau kontennya menjadi sumber informasi bagi proses berpikir generasi.

Sebagian penulis yang menempuh jalur fiksi Islami, juga mesti berhati-hati terhadap jebakan karakterisasi fiksi ini. Tak bisa dipungkiri, fiksi Islami kian digemari oleh remaja milenial yang berproses hijrah. Ini peluang di tengah geliat minat baca yang rendah.

Sayangnya, sebagian cerita-cerita tersebut sebagian besar nuansa Islaminya terkesan tempelan saja. Napas Islam sebatas sapaan Assalamu'alaikum, panggilan Ukhti, Akhi, tokohnya yang hafidz Al-Qur'an, tokohnya yang berjilbab lebar, dan seterusnya. Islam tidak menjadi ruh yang menjiwai cerita atau tak memiliki life style Islam.

Secara isi, cerita-cerita tersebut, tidak menggambarkan cerita Islami yang seharusnya terikat dengan hukum syara' serta menggambarkan secara konkrit baik buruk atau benar salah sesuai Islam.

Sesungguhnya, kekuatan sebuah cerita, memengaruhi cara berpikir kaum millenial. Mereka bisa sangat terinspirasi sebuah cerita sehingga mengidolakan penulisnya. Termasuk mengadopsi pemikiran penulisnya.

Bayangkan jika cerita Islami tersebut justru sarat nilai kebebasan. Memakai baju Islami, tetapi isinya membenarkan kemaksiatan. Kaum millenial akan memahami bahwa cerita tersebut bukan kemaksiatan, atau kemaksiatan tersebut boleh dalam Islam.

Realitas ini menumbuhkan dorongan sebagian teman-teman untuk menetapkan diri di jalur kepenulisan fiksi Islami. Namun, terkadang, style penulisan yang kurang memikat, dan cerita yang kurang kuat dari sisi konflik dan karakter, membuat tulisan fiksi kurang dilirik. Padahal, berharap pembaca awam bisa tercerahkan dengan tulisan tersebut.

Seorang penulis muslim, harusnya mempunyai kekuatan konten berbekal tsaqofah yang luas. Hanya saja, gaya penulisan fiksi tentu saja tidak sama dengan opini, yang bisa memberikan analisis secara gamblang.

Tanggung jawab sebagai penulis
Ilustrasi penulis harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang ditulikannya. Foto: geralt/canva

Di sini kadang kelemahan penulis muslim bervisi dakwah. Terlalu menjejalkan konten dakwah ke dalam tulisan fiksi sehingga melupakan elemen-elemen fiksi yang memperkuat cerita. Kita memasukkan konten Islami, tanpa melihat kesesuaiannya dengan alur dan plot cerita, bahkan tidak menyatu dengan karakter tokoh. Akibatnya, penanaman nilai kurang membekas.

Cara mengeceknya sebenarnya tidak sulit. Seandainya sebuah dialog atau narasi Islam itu dihapus dari cerita, apakah berpengaruh terhadap kemajuan konflik dan solusi cerita, ataukah tidak. Jika cerita tetap berjalan tanpa ada konten tersebut, berarti nilai Islam hanya tempelan di situ.

Dalam dunia fiksi Islami hari ini, ada sebagian karya yang mengabaikan pesan Islam dalam cerita. Mengabaikan pula keterikatan hukum syara' tokoh-tokohnya. Sebagian penulis fiksi Islami cenderung mengikuti selera pasar dari sisi tema, konflik, dan bahkan dari sisi pemilihan judul. Dengan alasan, agar pembaca tertarik membaca, me-like, komen dan membeli koin atau membeli cerita penulis. Di balik judul-judul seronok atau tabu itu, mereka menyelipkan konten dakwah. Hal tersebut sebenarnya malah menodai citra Islam dan dakwah itu sendiri. Ini terjadi karena terbawa perasaan, lalu menuruti maunya pembaca dan menggadaikan adab serta penancapan hukum syara' dalam cerita.

Ada beberapa catatan ketika menulis fiksi Islam agar yang ditulis berbuah kebaikan, dan bahkan menginspirasi.

Pertama, niatkan untuk syi'ar, sehingga sebisa mungkin ada dakwah dalam amanat cerita, ada dakwah juga dalam plot cerita kita.

Jadi jangan mengangkat tema pelakor hanya untuk bikin baper dan emosi emak-emak. Angkat tema pelakor untuk diluruskan. Bagaimana syari'ah Islam mencegah kehadiran pelakor dengan keterikatan tokohnya terhadap hukum syara'.

Sejatinya, ide yang ditulis seorang penulis fiksi, kemudian disebarkan, sedikit banyaknya pasti akan berdampak kepada pembaca. Sungguh miris melihat fenomena sebagian penulis yang berlomba-lomba menulis cerita di berbagai platform online dengan tema yang sesuai selera pasar, tanpa memperhatikan dampaknya bagi generasi. Mereka membuat judul click bait yang kontroversial atau tabu. Tujuannya agar banyak yang kepo. Semakin banyak yang baca, semakin deras fee-nya.

Bukannya tidak boleh menulis untuk mendapatkan penghasilan, tetapi hendaknya sebagai penulis muslim, terlebih dulu memahami batasan syariah dalam menulis. Bagaimana baik buruknya tulisan tersebut dalam pandangan hukum Islam. Memperkuat niat utama, menulis untuk kebaikan. Setidaknya, minimal penulis memiliki tanggung jawab moral, yaitu selalu mempertimbangkan sebesar apa efek tulisan yang akan dibaca orang banyak.

Kedua, berhati-hati dalam karakterisasi tokoh. Tokoh yang tidak sempurna lebih disukai. Gambarkanlah proses si tokoh menjadi baik. Namun, selama proses si tokoh menjadi baik, jika ada kemaksiatan yang dilakukan si tokoh sebagai kebutuhan alur cerita, suasana ceritanya bukan untuk membenarkan. Sebagaimana yang diuraikan di atas, tetap harus dipandu.

Tatkala menampilkan tokoh yang bermaksiat, tetap harus digambarkan secara gamblang bahwa itu keburukan. Jangan malah dimaklumi hanya karena si tokoh punya masa lalu yang kelam, sehingga timbul kesan bahwa orang jahat sebenarnya orang baik yang tersakiti. Hindari pula sikap tokoh yang berada dalam wilayah abu-abu, alias tak jelas dia baik atau buruk, sehingga ada pemakluman realitas bahwa sebuah perbuatan baik tak bisa dikatakan benar-benar baik, atau sebaliknya perbuatan jahat tokoh tak bisa diklaim betul-betul jahat. Seperti tokoh Joker yang sempat viral beberapa tahun lalu.

Cerita fiksi tanpa standar atau membiarkan pembacanya menilai sendiri, sangat berbahaya. Itulah cerminan fiksi sekuler liberal. Seorang penulis fiksi Islami harus menghindari penulisan cerita yang menyerahkan penilaian pada pembaca.

Ketiga, berhati-hati terhadap detail cerita. Usahakan para tokoh utama dalam cerita kita tidak berkhalwat, tetap menjaga izzah, tidak bermaksiat, dan lain-lain.

Jika dibutuhkan kemaksiatan tokoh sebagai bagian dari alur, irama ceritanya bukan untuk membenarkan. Harus ditunjukkan dengan gamblang bahwa itu kesalahan.

Keempat, suasana cerita yang tidak menunjukkan kesalahan, atau dengan kata lain, membenarkan kemaksiatan, harus segera di-frame. Maksudnya diberi bingkai atau koreksi, langsung di dalam cerita, jika itu cerpen. Dan langsung di bab yang kita posting, jika itu cerbung di sosial media.

Caranya bisa dengan menghadirkan tokoh lain untuk menasihati dalam dialog. Atau tokoh tersadarkan oleh suatu peristiwa. Bisa pula dikemas dalam narasi.

Saat ini, masih banyak cerita yang berlogo religi atau Islami, yang justru mengabaikan keterikatan hukum syara'. Sadar atau tidak sadar, ditulis karena kekurangpahaman penulisnya.

Sering teridentifikasi adalah tokoh yang berkhalwat. Sebenarnya, romance itu boleh, tapi ada batasannya. Kalau tokohnya sampai ketemu dua--duaan, itu maksiat namanya. Harus ada frame yang menjelaskan ketidakbolehan itu.

Hanya penulislah yang mampu mengendalikan kemana arah kapal penulisan akan dibawa. Berpahala jika diarahkan pada kebaikan. Dosa jariah jika dibawa pada keburukan atau patokan yang abu-abu.

Maka dari itu, jangan sampai irama atau ritme cerita penulis terkesan membenarkan kemaksiatan yang ditulis. Akibatnya fatal kalau penulis tidak merasa berkepentingan untuk meluruskan. Atau menunda meluruskannya di akhir bab.

Kelima, setiap kemaksiatan yang ada dalam cerita kita luruskan di bab yang sama atau bab yang tidak terlalu jauh. Jangan di bab-bab akhir. Sebab tidak dijamin pembaca bertahan membaca cerita kita sampai akhir. Kalau dia meninggalkan cerita kita tanpa sempat membaca pelurusannya, pembaca akan menangkap jika kemaksiatan yang ada dalam cerita adalah boleh.

Sayang sekali, dakwahnya tidak sampai, malah keburukan yang membekas. Berhati-hatilah terhadap dosa jariah.

Keenam, bermain cantiklah dalam menyusun kata. Sebisa mungkin setiap konten dakwah yang kita selipkan tidak menggurui. Kalau menggurui cenderung membosankan dan cerita kita akan ditinggalkan.

Mengutip perkataan Ust. Syaif M Isa (novelis fiksi historis), "Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat menyenangkan. Jika amal seseorang terputus setelah kematian, maka dengan menulis kita bisa memanjangkan catatan amal kita, selama kita menuliskan kebaikan."

Hati-hati, kita pun bisa mengumpulkan dosa jariah dari cerita yang kita buat. Wahai para penulis, konten kreator, dan pelaku industri media, mari saling mengingatkan. Takutlah kepada Allah, karena setiap tulisan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Na'udzubillahi min dzalik.[EL]

 

Kontributor: Ummu Salwa (Eva Liana). Novelis, writer, editor, dan pegiat literasi Kalsel.