Rabu, 18 Desember 2024

Pendidikan Gratis Berkualitas Hanya Terwujud dalam Islam

Pendidikan Gratis Berkualitas hanya dalam Islam

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Pendidikan adalah hak mendasar yang menjadi jembatan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, dengan pendidikan terdapat pembelajaran sebagai bekal untuk bertahan hidup. Namun sayangnya, saat ini pendidikan tidak ditempatkan dalam posisi utama seperti seharusnya, terlihat dari bagaimana susahnya seseorang untuk duduk di bangku sekolah karena kekurangan biaya. Oktober lalu, terdapat tiga orang anak dari sebuah sekolah swasta yang dikeluarkan karena memiliki tunggakan yang mencapai 42 juta. Tunggakan ini ternyata tidak hanya pembayaran SPP, tapi juga seragam dan buku-buku belajar. Ternyata mahalnya biaya pendidikan juga menentukan kualitas sekolah tersebut, seperti sekolah-sekolah swasta mentereng dengan biaya 500-300 juta per tahun sehingga jika ingin bersekolah di sana harus memiliki dompet tebal terlebih dahulu.

Biaya pendidikan mahal begitu mencekik pihak orang tua yang menginginkan anaknya bersekolah di tempat berkualitas karena biayanya yang selangit. Bahkan ketika memasukkan anaknya ke sekolah negeri yang katanya gratis pun tetap terbebani iuran untuk acara bulanan sekolah, dan buku-buku paket yang berganti setiap tahunnya. Ibarat keluar lubang buaya masuk lubang harimau, generasi membutuhkan pendidikan, tapi semua serba mahal.

Biaya pendidikan yang berkualitas saat ini sangatbmahal
Ilustrasi biaya pendidikan yang berkualitas saat ini dirasakan sangat mahal oleh sebagian besar masyarakat. Foto: Satrio Ramadhan/Canva

Seharusnya jika menyadari pentingnya pendidikan untuk bangsa dan negara, pemerintah menempatkan perhatian penuh untuk ranah pendidikan terutama persoalan biaya. Meskipun pemerintah sudah menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN. Selain APBN, pendanaan pendidikan juga dilakukan melalui APBD. Pelayanan pendidikan dilakukan pemerintah melalui konsep otonomi daerah. Namun, biaya dari pemerintah tersebut tidak hanya bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah (di bawah tata kelola Kemdikbudristek) saja. Namun, akan terbagi ke beberapa kementerian yang memiliki program terkait pendidikan.

Dari sini juga tampak bahwa anggaran pendidikan sebenarnya amat terbatas jika hanya 20% dari APBN yang saat ini (2024) berjumlah Rp660,8 triliun. Dari sidang pengujian UU Sisdiknas di Mahkamah Konstitusi terungkap bahwa terdapat kekurangan dana sekitar Rp418,1 triliun untuk menggratiskan SD dan SMP, baik pendidikan negeri maupun swasta. Adapun total kebutuhan dana untuk keperluan tersebut mencapai Rp655,2 triliun. Jika kekurangan ini tidak ditindaklanjuti, maka jelas bahwa pendidikan dianggap bukan hal utama. Efek domino terus berlanjut sehingga rakyat harus memikul biaya pendidikan sendiri tanpa bantuan dari pemerintah.

Akar masalah biaya pendidikan ini adalah pemahaman kapitalis yang mendominasi negeri ini. Pendidikan dijadikan komoditas komersial berorientasi pada keuntungan materi. Akibatnya negara akan kehilangan generasi emas. Kemajuan sebuah negara bergantung pada generasinya, sebab jika generasi tidak dididik dengan pendidikan berkualitas justru akan menjadi bumerang bagi peradaban. Generasi yang lahir dari cara pikir kapital menjadi generasi yang rusak dan tidak tahu arah.

Beban untuk mendidik generasi seharusnya dipikul oleh institusi yang besar, bukan pundak kecil rakyat. Indonesia memiliki potensi dengan banyaknya jumlah pemuda, tapi arah pendidikan juga menentukan arah generasi. Jika hanya individu kaya yang mampu mendapatkan pendidikan berkualitas, maka bagaimana Indonesia yang mayoritasnya adalah rakyat kecil yang kurang mampu. Untuk makan sehari-hari saja masih susah, apalagi untuk biaya pendidikan yang selangit.

Masalah pendidikan sangat krusial, tapi seringkali diabaikan. Walau ada solusi, tapi sekadar tambal sulam yang justru menambah masalah. Harusnya pendidikan berkualitas diselenggarakan di seluruh sekolah, tanpa membebani masyarakat. Jadi tidak hanya sekolah mahal saja yang memiliki kualitas, tapi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia juga.

Namun perubahan tersebut tidak dapat diraih dengan sistem pendidikan ala kapitalis. Saatnya kembali pada sistem pendidikan Islam yang pernah berjaya selama 13 abad dalam naungan khilafah.

Sistem dari langit yang diberikan Sang Pencipta yang lebih memahami makhluk ciptaan-Nya. Islam, sudah berhasil menunjukkan pada dunia arti dari pendidikan sesungguhnya. Terlihat dari bayt hikmah yang menjadi perpustakaan terlengkap dan terbesar di dunia kala itu. Pada saat yang sama, Eropa mengalami dark age. Islam di belahan dunia lain sedang mengalami masa keemasan yang masih bersinar hingga kini. Sebagai contoh ilmu kedokteran yang dikembangkan Ibnu Sina masih digunakan dalam ilmu kedokteran modern.

Biaya pendidikan dalam Islam menjadi tanggungjawab negara
Biaya pendidikan dalam negara Islam menjadi tanggung jawab negara. Foto: Meta AI/canva

Kesukesan ini diraih dengan pengaturan Islam pada masa itu yang menggratiskan seluruh jenjang pendidikan bahkan membiayai para ilmuwan berbakat di laboratorium agar penelitian mereka berkembang tanpa hambatan biaya. Masa itu, sekolah berkualitas gampang ditemukan karena tepat berada di samping masjid-masjid dan siapapun boleh masuk dan mengikutinya. Bahkan setelah gratis masa pendidikan, setiap pengabdian dalam bidang keilmuan dihargai dan ditimbang dengan emas, seperti para ulama yang membuat buku maka akan digaji emas yang ditimbang dengan buku yang mereka tuliskan.

Tidak ada kekhawatiran anggaran negara bocor karena membiayai pendidikan karena aturan ekonomi yang dipakai pun sudah sesuai dengan apa yang Allah terapkan sehingga dengan tetap berada di koridor syara'. Rakyat kecil tidak perlu ikut risau mengurusi masalah yang menjadi tanggung jawab negara karena negara dalam Islam mampu menangani dengan cepat, ringkas dan high quality pelayanan.

Maka dengan sistem inilah seharusnya pemerintah menyandarkan setiap permasalahan karena sudah terbukti dalam sejarah, pendidikan Islam gratis, berkualitas, dan sukses mencetak generasi berkepribadian Islam yang melahirkan peradaban cemerlang. [EL]

 

Kontributor: Ummu Salwa. Writer.