Senin, 09 September 2024

Anakku Bukan "Anakku" : Nasab Anak Hasil Perselingkuhan

Nasab anak hasil perselingkuhan

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Viral di media sosial, sebuah kisah pilu tentang seorang ayah yang batal jadi wali nikah putrinya lantaran baru ketahuan kalau dirinya bukan berstatus ayah kandung. Hal ini diketahui sang ayah ketika melakukan tes DNA saat putrinya yang berusia 26 tahun hendak menikah.

Dalam YouTube X-Undercover berjudul Episode 2 | DNA Menyingkap yang Terselubung - Family Secrecy and DNA, yang dilihat Selasa (3/9/2024), dr. Djaja Surya Atmadja menceritakan asal mula sang ayah jauh-jauh datang kepadanya dan meminta tes DNA.

Ternyata, sang ayah sudah lama meragukan status sang anak, walaupun ia membesarkannya dengan penuh kasih sayang selama 26 tahun. Keraguannya muncul akibat santernya isu istrinya berselingkuh sebelum hamil.

Sang ayah pun berniat mengungkap kebenarannya sebelum terlanjur menjadi wali nikah putrinya. Sungguh miris ketika hasil tes DNA menunjukkan putrinya itu ternyata bukanlah anak kandung.

Kenyataan memilukan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah si ayah tak berhak menjadi wali nikah putri hasil selingkuhan istrinya?

Pembahasannya dalam fiqih adalah sebagai berikut. Apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan.

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Ijtima’i bab Nasab, hikmah Ilahiyah telah mengharuskan wanita menjadi tempat mengandung dan melahirkan. Maka dari itu, seorang wanita wajib dibatasi untuk menikah dengan seorang pria saja. Haramnya wanita menikah dengan lebih dari satu pria itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui nasabnya.

Hukum anak hasil selingkuhan
Ilustrasi seorang anak terlahir sesuai fitrah. Foto: ASF/Canvapro

Usia kehamilan paling singkat adalah enam bulan dan umumnya sembilan bulan. Seorang suami, jika istrinya melahirkan anak, maka anak itu dapat dianggap sebagai anaknya, setelah istrinya melahirkannya dalam waktu enam bulan atau lebih. Itu dihitung sejak tanggal pernikahannya dengan wanita itu.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anha:

 الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

"Anak adalah keturunan pemilik tempat tidur (suami dan istri) dan pezinanya mendapatkan kerugian.” (Muttafaq ‘alaihi).

Ringkasnya, selama seorang wanita berstatus sebagai istri dari seorang suami dan melahirkan anak setelah melewati masa enam bulan atau lebih dari tanggal pernikahannya, berarti anak itu mutlak anak suaminya.

Akan tetapi, jika sang istri melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dan terbukti anak tersebut bukan dari benihnya, suami itu boleh mengingkarinya dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, pengingkaran sang suami tidak ada nilainya dan anak yang lahir tetap dianggap sebagai anaknya, baik ia suka atau tidak. Syarat-syaratnya adalah pertama, anak yang diingkarinya itu dilahirkan dalam keadaan hidup. Jika mati, maka suami tidak boleh mengingkari nasab anak, sebab pengingkarannya tidak berimplikasi terhadap hukum syar’i apa pun.

Kedua, suami itu tidak mengakui. Baik dengan pengakuan yang jelas, maupun pengakuan berupa indikasi, bahwa anak itu adalah anaknya. Jika suami telah mengakui dengan pengakuan yang jelas atau pengakuan berupa indikasi bahwa anak itu anaknya, maka dia tidak boleh mengingkari nasab anaknya di kemudian hari.

Ketiga, pengingkaran terhadap anaknya hendaknya terjadi pada waktu-waktu atau keadaan-keadaan tertentu. Misalnya: saat istrinya melahirkan pada waktu suami membeli berbagai keperluan melahirkan. Atau ketika suaminya tahu bahwa istrinya melahirkan, sementara ia tidak berada di tempat. Di luar waktu dan keadaan tersebut, suami tidak boleh mengingkari nasab anak tersebut.

Pada situasi ketiga ini, jika istrinya melahirkan seorang anak, sementara suami tidak mengingkarinya—padahal dimungkinkan ia mengingkarinya—maka anak tersebut dianggap bernasab kepadanya. Dan ia tak berhak mengingkarinya setelah itu.

Adanya pilihan hak ingkar bagi suami ini dilihat dari adanya pengetahuan suami akan kelahiran pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu. Serta diukur dari adanya kemungkinan bagi suami untuk mengingkari anaknya (imkan an-nafyi).

Jika suami telah mengetahui kelahiran anak dan terdapat kemungkinan untuk mengingkarinya, tapi ia tidak mengingkarinya, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Anak adalah keturunan pemilik tempat tidur (suami dan istri).” (HR Bukhari).

Sebaliknya jika suami mengaku dirinya tidak mengetahui kelahiran, dan pengakuannya dapat dibenarkan karena ia berada di tempat yang tidak memungkinkan dirinya mengetahuinya, maka yang diterima adalah pernyataan suami disertai sumpahnya. Alasannya adalah pada dasarnya suami itu tidak tahu adanya kelahiran. Namun, jika pengakuannya tidak bisa dipercaya, misalnya ia berada di rumah bersama istrinya, maka pengakuannya tidak diterima. Sebab terjadinya kelahiran anak adalah hal yang hampir-hampir tidak mungkin dirinya tidak tahu.

Jika sang suami mengatakan: “Aku tahu kelahirannya, tapi aku tidak tahu kalau berhak mengingkarinya.” Atau ia mengatakan, “Aku tahu itu, tapi aku tidak tahu kalau harus mengingkarinya dengan segera.” Kondisi tersebut terjadi karena hukum ini tidak diketahui oleh umumnya masyarakat. Maka pengakuan sang suami dalam situasi itu dapat diterima. Maka kasusnya diserupakan dengan orang yang baru masuk Islam. Sebab setiap hukum yang tidak diketahui oleh kebanyakan masyarakat, untuk hukum yang semisal dan orang yang semisal, maka ketidaktahuan terhadap hukum itu dapat dimaafkan.

Keempat, pengingkaran anak dilanjutkan dengan li’an atau suami mengingkari anak dengan li’an. Pengingkaran suami terhadap anak tidak dipandang cukup, kecuali suami mengingkari anaknya dengan li’an yang sempurna (li’an tam).

Sempurnanya keempat syarat tersebut, meniscayakan diterimanya pengingkaran terhadap anak. Maka nasab anak tersebut diikutkan kepada pihak wanita (ibunya). Ibnu Umar telah meriwayatkan:  Bahwasanya ada seorang pria yang telah melakukan li’an terhadap istrinya pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, kemudian memisahkan keduanya dan mengikutkan anak itu kepada istrinya.” (HR Bukhari).

Aturan Islam menjaga kesucian nasab
Islam memiliki seperangkat aturan menjamin terjaganya nasab. Foto : ASF/Canvapro

Sebaliknya apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka pengingkaran anak tidak diterima. Anak itu tetap dinasabkan kepada suami, dan wajib diterapkan atas anak itu seluruh hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak.

Penjelasan di atas berlaku jika perselisihan mengenai kelahiran bermula dari pihak suami. Jika perselisihan kelahiran bermula dari pihak istri, misalnya istri mengaku bahwa pada masa pernikahan dirinya telah melahirkan anak yang berasal dari benih suaminya, tapi suaminya mengingkari, dengan berkata, “Tidak terjadi kelahiran padamu.” Maka sang istri berhak membuktikan pengakuan dengan kesaksian seorang wanita muslimah. Dalam hal ini kesaksian seorang wanita muslimah dipandang cukup, karena masalah nasab dibuktikan dengan adanya ikatan suami istri. Kesaksian sah dibuktikan dengan kesaksian seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat kesaksian.

Kesimpulannya, apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua keadaan: Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta nasabnya dinasabkan ke ibunya.

Jika wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan, maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya. Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan anak zina, tapi tetap dinasabkan kepada ibunya. Wallahu alam. [EL]


Referensi : An-Nabhani, Taqiyyudin (2003). An-Nizhamul Ijtimai fii Daulah. Beirut:-

Kontributor : Ummu Salwa (Writer, author 14 novel, dan editor free-lance)