AMAZINGSEDEKAH.COM- Viral di media sosial, sebuah kisah pilu tentang seorang ayah yang
batal jadi wali nikah putrinya lantaran baru ketahuan kalau dirinya bukan
berstatus ayah kandung. Hal ini diketahui sang ayah ketika melakukan tes DNA saat putrinya
yang berusia 26 tahun hendak menikah.
Dalam YouTube X-Undercover berjudul Episode 2 | DNA Menyingkap
yang Terselubung - Family Secrecy and DNA, yang dilihat Selasa (3/9/2024), dr.
Djaja Surya Atmadja menceritakan asal mula sang ayah jauh-jauh datang kepadanya
dan meminta tes DNA.
Ternyata, sang ayah sudah lama meragukan status sang anak, walaupun ia membesarkannya dengan penuh kasih sayang selama 26 tahun. Keraguannya muncul akibat santernya isu istrinya berselingkuh sebelum hamil.
Sang ayah pun berniat mengungkap kebenarannya sebelum terlanjur
menjadi wali nikah putrinya. Sungguh miris ketika hasil tes DNA menunjukkan putrinya
itu ternyata bukanlah anak kandung.
Kenyataan memilukan tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah si
ayah tak berhak menjadi wali nikah putri hasil selingkuhan istrinya?
Pembahasannya dalam fiqih
adalah sebagai berikut. Apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang
anak dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah
anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan.
Menurut Syekh Taqiyuddin
an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Ijtima’i bab Nasab, hikmah Ilahiyah telah
mengharuskan wanita menjadi tempat mengandung dan melahirkan. Maka dari itu,
seorang wanita wajib dibatasi untuk menikah dengan seorang pria saja. Haramnya
wanita menikah dengan lebih dari satu pria itu dimaksudkan agar setiap orang
dapat mengetahui nasabnya.
![]() |
Ilustrasi seorang anak terlahir sesuai fitrah. Foto: ASF/Canvapro |
Usia kehamilan paling singkat
adalah enam bulan dan umumnya sembilan bulan. Seorang suami, jika istrinya
melahirkan anak, maka anak itu dapat dianggap sebagai anaknya, setelah istrinya
melahirkannya dalam waktu enam bulan atau lebih. Itu dihitung sejak tanggal
pernikahannya dengan wanita itu.
Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anha:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ،
وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
"Anak adalah keturunan
pemilik tempat tidur (suami dan istri) dan pezinanya mendapatkan kerugian.”
(Muttafaq ‘alaihi).
Ringkasnya, selama seorang
wanita berstatus sebagai istri dari seorang suami dan melahirkan anak setelah
melewati masa enam bulan atau lebih dari tanggal pernikahannya, berarti anak
itu mutlak anak suaminya.
Akan tetapi, jika sang istri
melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dan terbukti anak tersebut bukan
dari benihnya, suami itu boleh mengingkarinya dengan sejumlah syarat yang harus
dipenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, pengingkaran sang suami tidak ada
nilainya dan anak yang lahir tetap dianggap sebagai anaknya, baik ia suka atau
tidak. Syarat-syaratnya adalah pertama, anak yang diingkarinya itu dilahirkan
dalam keadaan hidup. Jika mati, maka suami tidak boleh mengingkari nasab anak,
sebab pengingkarannya tidak berimplikasi terhadap hukum syar’i apa pun.
Kedua, suami itu tidak
mengakui. Baik dengan pengakuan yang jelas, maupun pengakuan berupa indikasi,
bahwa anak itu adalah anaknya. Jika suami telah mengakui dengan pengakuan yang
jelas atau pengakuan berupa indikasi bahwa anak itu anaknya, maka dia tidak
boleh mengingkari nasab anaknya di kemudian hari.
Ketiga, pengingkaran terhadap
anaknya hendaknya terjadi pada waktu-waktu atau keadaan-keadaan tertentu.
Misalnya: saat istrinya melahirkan pada waktu suami membeli berbagai keperluan
melahirkan. Atau ketika suaminya tahu bahwa istrinya melahirkan, sementara ia
tidak berada di tempat. Di luar waktu dan keadaan tersebut, suami tidak boleh
mengingkari nasab anak tersebut.
Pada situasi ketiga ini, jika
istrinya melahirkan seorang anak, sementara suami tidak mengingkarinya—padahal
dimungkinkan ia mengingkarinya—maka anak tersebut dianggap bernasab kepadanya.
Dan ia tak berhak mengingkarinya setelah itu.
Adanya pilihan hak ingkar bagi
suami ini dilihat dari adanya pengetahuan suami akan kelahiran pada waktu-waktu
dan tempat-tempat tertentu. Serta diukur dari adanya kemungkinan bagi suami
untuk mengingkari anaknya (imkan an-nafyi).
Jika suami telah mengetahui
kelahiran anak dan terdapat kemungkinan untuk mengingkarinya, tapi ia tidak
mengingkarinya, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Sebab Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Anak adalah keturunan pemilik tempat
tidur (suami dan istri).” (HR Bukhari).
Sebaliknya jika suami mengaku
dirinya tidak mengetahui kelahiran, dan pengakuannya dapat dibenarkan karena ia
berada di tempat yang tidak memungkinkan dirinya mengetahuinya, maka yang
diterima adalah pernyataan suami disertai sumpahnya. Alasannya adalah pada
dasarnya suami itu tidak tahu adanya kelahiran. Namun, jika pengakuannya tidak
bisa dipercaya, misalnya ia berada di rumah bersama istrinya, maka pengakuannya
tidak diterima. Sebab terjadinya kelahiran anak adalah hal yang hampir-hampir
tidak mungkin dirinya tidak tahu.
Jika sang suami mengatakan:
“Aku tahu kelahirannya, tapi aku tidak tahu kalau berhak mengingkarinya.” Atau
ia mengatakan, “Aku tahu itu, tapi aku tidak tahu kalau harus mengingkarinya
dengan segera.” Kondisi tersebut terjadi karena hukum ini tidak diketahui oleh
umumnya masyarakat. Maka pengakuan sang suami dalam situasi itu dapat diterima.
Maka kasusnya diserupakan dengan orang yang baru masuk Islam. Sebab setiap
hukum yang tidak diketahui oleh kebanyakan masyarakat, untuk hukum yang semisal
dan orang yang semisal, maka ketidaktahuan terhadap hukum itu dapat dimaafkan.
Keempat, pengingkaran anak
dilanjutkan dengan li’an atau suami mengingkari anak dengan li’an. Pengingkaran
suami terhadap anak tidak dipandang cukup, kecuali suami mengingkari anaknya
dengan li’an yang sempurna (li’an tam).
Sempurnanya keempat syarat
tersebut, meniscayakan diterimanya pengingkaran terhadap anak. Maka nasab anak
tersebut diikutkan kepada pihak wanita (ibunya). Ibnu Umar telah
meriwayatkan: “Bahwasanya ada seorang
pria yang telah melakukan li’an terhadap istrinya pada masa Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, kemudian memisahkan keduanya dan mengikutkan anak
itu kepada istrinya.” (HR Bukhari).
![]() |
Islam memiliki seperangkat aturan menjamin terjaganya nasab. Foto : ASF/Canvapro |
Sebaliknya apabila
syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka pengingkaran anak tidak diterima. Anak
itu tetap dinasabkan kepada suami, dan wajib diterapkan atas anak itu seluruh
hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak.
Penjelasan di atas berlaku jika
perselisihan mengenai kelahiran bermula dari pihak suami. Jika perselisihan
kelahiran bermula dari pihak istri, misalnya istri mengaku bahwa pada masa
pernikahan dirinya telah melahirkan anak yang berasal dari benih suaminya, tapi
suaminya mengingkari, dengan berkata, “Tidak terjadi kelahiran padamu.” Maka
sang istri berhak membuktikan pengakuan dengan kesaksian seorang wanita
muslimah. Dalam hal ini kesaksian seorang wanita muslimah dipandang cukup,
karena masalah nasab dibuktikan dengan adanya ikatan suami istri. Kesaksian sah
dibuktikan dengan kesaksian seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat
kesaksian.
Kesimpulannya, apabila suami
mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua
keadaan: Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan
persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si wanita
dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta nasabnya
dinasabkan ke ibunya.
Jika wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan, maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya. Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan anak zina, tapi tetap dinasabkan kepada ibunya. Wallahu alam. [EL]
Referensi : An-Nabhani, Taqiyyudin (2003). An-Nizhamul Ijtimai fii Daulah. Beirut:-
Kontributor : Ummu Salwa (Writer, author 14 novel, dan editor free-lance)