Senin, 08 Juli 2024

Mengingat Surga, Pelipur Lara Mereka yang Menanggung Beratnya Hijrah

AMAZINGSEDEKAH.COM- Telah tercatat dalam sejarah yang ditulis oleh Ibnu al-Jauzy dalam kitabnya al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam (4/227) bahwa hijrahnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersama kaum Muslim dari Makkah ke Madinah, dijadikan sebagai awal penanggalan kalender Hijriah atas usul Umar bin Khaththab.


Imam Said bin Musayyab meriwayatkan bahwa yang mengusulkan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan kalender Hijriah adalah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu `anhu, yaitu saat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam meninggalkan negeri syirik. Adapun yang mengusulkan Muharram sebagai awal bulan Hijriah adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu `anhu. Muharram ditetapkan sebagai awal bulan Hijriah karena dianggap sebagai bermulanya keinginan hijrah.

Sebagian ulama Sirah Nabawiyah mengungkapkan bahwa hijrahnya Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ke Madinah bukan karena ingin menghindar dari kesulitan yang menghadang dakwah Islam di Makkah. Juga bukan pula disebabkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sudah tak sabar lagi menghadapi tekanan terhadap dakwah. Melainkan karena saat itu beliau menyadari masyarakat Makkah berpikiran dangkal dan keukeuh dalam kesesatan. Maka itulah beliau memandang bahwa dakwah mesti beralih menuju kondisi masyarakat yang kondusif dan siap menerima Islam.

Allah memberikan pertolongan lewat kedatangan orang-orang suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Dua kabilah tersebut terkenal mahir berperang. Negeri mereka pun terletak di jalur perdagangan yang strategis, antara Makkah dan Syam. Selain itu, Madinah sangat subur serta posisinya secara militer sulit diterobos musuh.

Orang-orang musyrik Quraisy menyadari hal tersebut sehingga mereka cemas jika kekuatan Islam menjadi besar di Madinah sehingga mampu mengalahkan mereka. Mereka pun berjuang keras mempersulit hijrah kaum Muslim, khususnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.

Perjalanan hijrah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal, harta benda, bahkan banyak yang terpaksa meninggalkan keluarganya. Para sahabat rela menempuh jarak yang jauh, medan padang pasir yang luas dan sesekali badai pasir menerpa, ditambah lagi bekal makanan minuman yang kurang memadai. Mereka juga menghadapi tantangan yang lebih dari itu, yakni tekanan dari orang-orang musyrik Quraisy yang ingin menghalang-halangi hijrah mereka.

Beratnya perjuangan hijrah para shahabat dari Mekkah ke Madinah. Foto : amazingsedekah/canvapro

Misalnya seperti Shuhaib bin Sinan Ar-rumi, salah satu sahabat Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang kaya raya. Ia ditahan oleh orang-orang kafir Makkah ketika ia hendak hijrah bergabung dengan Rasul dan Abu Bakar As-Shidiq. Shuhaib berhasil kabur di malam hari meninggalkan semua kekayaannya yang dikuburkannya di dalam rumahnya.

Begitu para penjaga menyadari hilangnya Shuhaib, mereka bergegas mengejarnya, lalu mengepungnya. Orang-orang kafir baru melepaskan ketika Shuhaib meninggalkan seluruh hartanya untuk mereka.

Abdurrahman bin Auf, juga sahabat Rasul yang termasuk milyarder. Saat hendak berhijrah, seluruh kekayaannya diambil kaum kafir Quraisy. Abdurrahman diperbolehkan hijrah ke Madinah dengan syarat tidak membawa kekayaannya. Abdurrahman memilih bersiteguh dalam keimanan dan berhijrah, ketimbang bertahan dengan kekayaan.

Masjiq Quba, masjid yang pertama dibangun Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Foto: amazingsedekah/canvapro

Abu Salamah bin Abdul Asad termasuk sahabat Rasul yang pertama dan bergegas menyambut perintah Rasulullah untuk berhijrah ke Madinah. Ia dan istrinya, Ummu Salamah, berasal dari Bani Makhzum. Kedudukan mereka yang mulia sebagai keluarga terhormat di Mekah, tidak menghalangi mereka untuk hijrah ke Madinah. Mereka nafikan kelas sosial mereka demi menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya. Abu Salamah, istrinya, dan seorang anaknya pun berangkat menuju Madinah.

Sayang sekali, di tengah jalan, Abu Salamah dicegat keluarga. Istri dan anaknya ditahan. Akhirnya Abu Salamah terpaksa berangkat sendirian ke Madinah.

Rasa sedih yang dialami Abu Salamah yang terpisah dari anak dan istrinya, hidup sendiri di negeri yang asing, duka mendalam yang dialami Ummu Salamah, dan kesedihan yang dialami sang anak yang dipisahkan dari kedua orang tuanya, tidak lain dan tidak bukan kecuali disebabkan keimanan mereka kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Apakah Allah tidak menyayangi mereka? Demi Allah, merekalah orang-orang yang pertama memeluk Islam yang Allah puji di dalam Al-Qur’an. Allah meridhai mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ الْجَنَّةُ

 

Ketahuilah sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal dan ketahuilah bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga”. (HR. Tirmidzi).


Kisah hijrahnya Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘anhu tak kalah mengharukan. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam akibat homesick terhadap Makkah dan kampungnya.


Sejatinya, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat berempati terhadap derita hijrah yang dialami para sahabatnya. Salah satu cara beliau menolong kaum Muhajirin dan membangun masyarakat Islam di Madinah—yang berikatan dengan tali akidah-- adalah dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Persaudaraan tersebut dilandasi akidah Islam. Beliau meminta mereka untuk berjanji saling membantu, saling menopang, saling melindungi, dan hidup sepenanggungan.


Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mempersaudarakan kedua kaum tersebut melalui para sahabat-sahabatnya. Seperti misalnya, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zaid, Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan Utbah bin Malik, Ja'far bin Abu Thalib dipersaudarakan dengan Mu'az bin Jabal.


Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam juga mempersatukan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan jalan pernikahan demi mengurangi kesedihan akibat rasa kehilangan harta benda dan keluarga. Sebelumnya kaum Muhajirin merasakan kekhawatiran dan ketakutan, tetapi atas usaha Nabi inilah kekhawatiran mereka menjadi lenyap dan para musuh tidak berani mengganggu mereka karena mendapat perlindungan dari saudaranya, kaum Anshar.


Rasulullah juga berdoa untuk kesembuhan sahabatnya. Ketika mendengar Abu Bakar dan Bilal sakit berat, Rasulullah langsung berdoa kepada Allah agar segera mengangkat penyakitnya. Tidak lama setelah itu, kedua sahabat Rasulullah itu langsung sembuh dari penyakitnya. Rasulullah berdoa pula agar Allah menganugerahkan kebaikan, memberkahi rizki, dan menjauhkan segala macam penyakit bagi penduduk Madinah –baik Anshar maupun Muhajirin- dianugerahi kebaikan. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah juga memohon kepada Allah agar Allah memberikan cinta kepada dirinya dan sahabatnya pada kota Madinah sebagaimana cinta kepada Makkah, dan bahkan lebih.


Rasulullah meyakinkan para sahabat agar terus bersabar dalam menghadapi cobaan dan tantangan. Para sahabat juga diminta untuk terus memperjuangkan dakwah Islam di Madinah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا

Tidaklah seseorang dari umatku sabar terhadap cobaan Madinah dan kerasnya (kesusahannya), kecuali aku akan memberikan syafa’at padanya atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat.” [HR. Muslim]

Akhir kalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَة

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. an-Nisa: 100). [EL]


Kontributor: Eva Liana