![]() |
Imam Said bin Musayyab meriwayatkan
bahwa yang mengusulkan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan kalender
Hijriah adalah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu `anhu, yaitu saat Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam meninggalkan negeri syirik. Adapun
yang mengusulkan Muharram sebagai awal bulan Hijriah adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu `anhu. Muharram ditetapkan sebagai awal bulan Hijriah
karena dianggap sebagai bermulanya keinginan hijrah.
Sebagian ulama Sirah Nabawiyah mengungkapkan
bahwa hijrahnya Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ke Madinah bukan karena ingin
menghindar dari kesulitan yang menghadang dakwah Islam di Makkah. Juga bukan
pula disebabkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sudah tak sabar lagi
menghadapi tekanan terhadap dakwah. Melainkan karena saat itu beliau menyadari
masyarakat Makkah berpikiran dangkal dan keukeuh dalam kesesatan. Maka itulah
beliau memandang bahwa dakwah mesti beralih menuju kondisi masyarakat yang kondusif
dan siap menerima Islam.
Allah memberikan pertolongan lewat
kedatangan orang-orang suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Dua kabilah
tersebut terkenal mahir berperang. Negeri mereka pun terletak di jalur
perdagangan yang strategis, antara Makkah dan Syam. Selain itu, Madinah sangat
subur serta posisinya secara militer sulit diterobos musuh.
Orang-orang musyrik Quraisy menyadari
hal tersebut sehingga mereka cemas jika kekuatan Islam menjadi besar di Madinah
sehingga mampu mengalahkan mereka. Mereka pun berjuang keras mempersulit hijrah
kaum Muslim, khususnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
Perjalanan hijrah ini bukanlah sesuatu yang
mudah. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal, harta benda, bahkan banyak
yang terpaksa meninggalkan keluarganya. Para sahabat rela
menempuh jarak yang jauh, medan padang pasir yang luas dan sesekali badai pasir
menerpa, ditambah lagi bekal makanan minuman yang kurang memadai. Mereka juga
menghadapi tantangan yang lebih dari itu, yakni tekanan dari orang-orang
musyrik Quraisy yang ingin menghalang-halangi hijrah mereka.
![]() |
Beratnya perjuangan hijrah para shahabat dari Mekkah ke Madinah. Foto : amazingsedekah/canvapro |
Misalnya seperti Shuhaib bin Sinan Ar-rumi,
salah satu sahabat Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang kaya raya. Ia
ditahan oleh orang-orang kafir Makkah ketika ia hendak hijrah bergabung dengan
Rasul dan Abu Bakar As-Shidiq. Shuhaib
berhasil kabur di malam hari meninggalkan semua kekayaannya yang dikuburkannya
di dalam rumahnya.
Begitu para penjaga menyadari hilangnya
Shuhaib, mereka bergegas mengejarnya, lalu mengepungnya. Orang-orang kafir baru
melepaskan ketika Shuhaib meninggalkan seluruh hartanya untuk mereka.
Abdurrahman bin Auf, juga
sahabat Rasul yang termasuk milyarder. Saat hendak berhijrah, seluruh kekayaannya
diambil kaum kafir Quraisy. Abdurrahman diperbolehkan hijrah ke Madinah dengan
syarat tidak membawa kekayaannya. Abdurrahman memilih bersiteguh dalam keimanan
dan berhijrah, ketimbang bertahan dengan kekayaan.
![]() |
Masjiq Quba, masjid yang pertama dibangun Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Foto: amazingsedekah/canvapro |
Abu Salamah bin Abdul Asad termasuk sahabat
Rasul yang pertama dan bergegas menyambut perintah Rasulullah untuk berhijrah
ke Madinah. Ia dan istrinya, Ummu Salamah, berasal dari Bani Makhzum. Kedudukan
mereka yang mulia sebagai keluarga terhormat di Mekah, tidak menghalangi mereka
untuk hijrah ke Madinah. Mereka nafikan kelas sosial mereka demi menyambut
seruan Allah dan Rasul-Nya. Abu Salamah, istrinya, dan seorang anaknya pun
berangkat menuju Madinah.
Sayang sekali, di tengah jalan, Abu Salamah
dicegat keluarga. Istri dan anaknya ditahan. Akhirnya Abu Salamah terpaksa
berangkat sendirian ke Madinah.
Rasa sedih yang dialami Abu Salamah yang
terpisah dari anak dan istrinya, hidup sendiri di negeri yang asing, duka
mendalam yang dialami Ummu Salamah, dan kesedihan yang dialami sang anak yang
dipisahkan dari kedua orang tuanya, tidak lain dan tidak bukan kecuali
disebabkan keimanan mereka kepada Allah, Rabbul ‘alamin. Apakah Allah tidak
menyayangi mereka? Demi Allah, merekalah orang-orang yang pertama memeluk Islam
yang Allah puji di dalam Al-Qur’an. Allah meridhai mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ
سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ الْجَنَّةُ
“Ketahuilah sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga”. (HR.
Tirmidzi).
Kisah hijrahnya Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘anhu tak kalah
mengharukan. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar
dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam akibat homesick
terhadap Makkah dan kampungnya.
Sejatinya, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat berempati
terhadap derita hijrah yang dialami para sahabatnya. Salah satu cara beliau
menolong kaum Muhajirin dan membangun masyarakat Islam di Madinah—yang
berikatan dengan tali akidah-- adalah dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan
kaum Anshar. Persaudaraan tersebut dilandasi akidah Islam. Beliau meminta
mereka untuk berjanji saling membantu, saling menopang, saling melindungi, dan
hidup sepenanggungan.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mempersaudarakan kedua kaum tersebut melalui para
sahabat-sahabatnya. Seperti misalnya, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah
bin Zaid, Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan Utbah bin Malik, Ja'far bin
Abu Thalib dipersaudarakan dengan Mu'az bin Jabal.
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam juga mempersatukan kaum Muhajirin dan kaum
Anshar dengan jalan pernikahan demi mengurangi kesedihan akibat rasa kehilangan harta benda dan
keluarga. Sebelumnya kaum Muhajirin
merasakan kekhawatiran dan ketakutan, tetapi atas usaha Nabi inilah
kekhawatiran mereka menjadi lenyap dan para musuh tidak berani mengganggu
mereka karena mendapat perlindungan dari saudaranya, kaum Anshar.
Rasulullah juga berdoa untuk kesembuhan sahabatnya. Ketika
mendengar Abu Bakar dan Bilal sakit berat, Rasulullah langsung berdoa kepada
Allah agar segera mengangkat penyakitnya. Tidak lama setelah itu, kedua sahabat
Rasulullah itu langsung sembuh dari penyakitnya. Rasulullah berdoa pula agar
Allah menganugerahkan kebaikan, memberkahi rizki, dan menjauhkan segala macam
penyakit bagi penduduk Madinah –baik Anshar maupun Muhajirin- dianugerahi
kebaikan. Tidak tanggung-tanggung, Rasulullah juga memohon kepada Allah agar
Allah memberikan cinta kepada dirinya dan sahabatnya pada kota Madinah
sebagaimana cinta kepada Makkah, dan bahkan lebih.
Rasulullah meyakinkan para sahabat agar terus bersabar dalam
menghadapi cobaan dan tantangan. Para sahabat juga diminta untuk terus
memperjuangkan dakwah Islam di Madinah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا
“Tidaklah seseorang dari
umatku sabar terhadap cobaan Madinah dan kerasnya (kesusahannya), kecuali aku
akan memberikan syafa’at padanya atau menjadi saksi baginya pada hari Kiamat.”
[HR. Muslim]
Akhir kalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَة
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. an-Nisa: 100). [EL]
Kontributor: Eva Liana