Senin, 19 Agustus 2024

BUNG TOMO: TAKBIR DAN KEMERDEKAAN HAKIKI


 AMAZINGSEDEKAH.COM- Kemerdekaan Indonesia telah menginjak usia ke-79 tahun. Sebuah angka yang tidak sedikit. Penting kiranya merenungi perjalanan negeri ini. Apakah kemerdekaan yang telah diraih, berhasil mendatangkan berkah berupa kesejahteraan rakyat atau sebaliknya.

Sebelum merdeka, rakyat hidup terjajah secara fisik dan jauh dari kata sejahtera. Setelah merdeka selama 79 tahun, seharusnya negeri ini telah berada dalam kondisi makmur sejahtera, berkeadilan, dan berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing dan tidak bergantung pada mereka.

Kenyataannya, tingkat kemiskinan negeri ini terus bertambah, juga didera berbagai krisis multidimensi. Kemakmuran hanya serupa mimpi kosong. Bahkan momen hari kemerdekaan belum dimanfaatkan untuk merenung, malah dipenuhi dengan agenda seremonial atau lomba-lomba tujuh belas agustusan yang tak ada kaitannya dengan refleksi perjuangan kemerdekaan para pahlawan terdahulu.

Upacara 17 Agustus 2024 di salah satu SD di Kalsel. Foto: Antara

Perlu kita ingat, betapa udara kemerdekaan yang kita hirup merupakan buah pengorbanan darah dan air mata para pahlawan bangsa di seluruh nusantara. Salah satunya yang fenomenal adalah perjuangan para pahlawan di Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan.

Pengorbanan para tentara dan dan rakyat Surabaya itu menjadi peristiwa yang tercatat sebagai pertempuran terbesar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Puncaknya tanggal 10 November 1945 merupakan bagian dari rentetan penolakan terhadap kedatangan tentara Inggris ke Surabaya yang ditunggangi kepentingan Belanda.

Inggris yang awalnya hanya bertugas melucuti semua persenjataan tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang, justru memaksa pejuang Surabaya untuk menyerahkan senjata. Hal tersebut ditentang para pejuang dan menimbulkan pertempuran selama tiga hari.

Di tengah upaya perundingan antara pihak sekutu dan Indonesia, seorang panglima tentara sekutu Brigjen Mallaby terbunuh di tengah kerusuhan massa. Pihak sekutu bereaksi keras dengan mengeluarkan ultimatum yang memicu pertempuran besar 10 November 1945. Pertempuran selama 16 hari tersebut menewaskan lebih kurang 15.000 jiwa.

Saat itu, pekikan takbir berkumandang di mana-mana, membakar semangat para pemuda Surabaya di medan perang. Mereka, adalah para pejuang Islam yang datang berperang dengan semangat mempertahankan tanah Surabaya dari ancaman serdadu Inggris.

Rais Akbar (pemimpin besar) Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad Fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945. Dalam resolusi itu, siapa pun yang berada dalam radius keliling 94 kilometer diwajibkan untuk datang melawan penjajah. Penjajahan Belanda dan Jepang selama ini dianggap sebagai kekejaman yang mendatangkan penderitaan.

Panggilan jihad tersebut sangat berpengaruh. Di beberapa buku disebutkan santri-santri dari berbagai pesantren menyambut seruan itu. Semuanya bergerak menuju Surabaya dengan membawa senjata masing-masing. Semangat berapi-api para santri itu membuat Resolusi Jihad dianggap sebagai salah satu musabab dari pecahnya pertempuran 10 November.

Dilansir dari https://minanews.net/refleksi-hari-pahlawan-bung-tomo-dan-kalimat-takbir/ bahwa sebelum pertempuran dahsyat tanggal 10 November 1945, pemuda Surabaya Bung Tomo (Sutomo) bin Kartawan Tjiptowijojo menyempatkan diri menemui Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) kala itu. Bung Tomo meminta ijin kepada Kiai Hasyim untuk membaca pidato yang merupakan manifestasi Resolusi Jihad, seruan para kiai NU pada 22 Oktober 1945.

Dalam pertempuran Surabaya yang menentukan, berkah Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), mendorong semangat jihad Bung Tomo melawan sekutu dengan mengumandangkan kalimat Takbir “Allahu Akbar!”.

Bung Tomo mendirikan radio perjuangan yang ia sebut sebagai Radio Pemberontakan RI, untuk menyiarkan berita-berita perjuangan. Bung Tomo saat itu masih berstatus wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya saat itu. Namun kemudian ia keluar dari ANTARA dan PRI, lebih memilih aktif melalui Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).

Melalui BPRI inilah Bung Tomo melawan sekutu saat mendarat di Surabaya pada Oktober 1945, sampai pecah pertempuran 10 November 1945.

Bung Tomo membangkitkan semangat juang Bangsa Indonesia dalam menghadapi pendaratan Tentara Sekutu Inggris (AFNEI) dan Belanda (NICA) yang akan kembali menjajah negeri, dengan senantiasa menutup pidato perlawanannya di radio dengan mengucapkan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”.

Kalimat lain Bung Tomo yang melegenda adalah, “Andai tidak ada kalimat Takbir, saya tidak tahu dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah.”


Kemerdekaan Hakiki

Melihat gigihnya para pahlawan melawan penjajahan, patut kiranya kita bersyukur akan kemerdekaan hari ini, tapi juga sekaligus bertafakkur mempertanyakan pada diri, apakah kini kita sudah benar-benar merdeka? Dan apakah kemerdekaan hakiki yang diinginkan para pejuang di masa lalu, telah kita raih?

Kebanyakan umat cenderung memaknai kata “merdeka” ketika penjajah secara fisik telah terusir dari bumi Indonesia. Padahal, penjajahan gaya baru justru lebih berbahaya, yakni penjajahan pemikiran, ekonomi, dan budaya. Bangsa ini kenyataannya tak kuasa menolak dominasi asing sehingga sulit bangkit menjadi negeri yang makmur dan kuat.

Kemerdekaan hakiki, sejatinya adalah ketika umat terbebas dari penjajahan pemikiran sekuler, hukum jahiliah, ekonomi ribawi, budaya barat dan segenap tatanan yang tidak islami.

Kemerdekaan hakiki hanya menjadi menghamba pada Allah Taala. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro

Risalah Islam diturunkan dengan membawa misi kemerdekaan umat manusia dalam makna yang hakiki, yakni memerdekakan umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah Taala.

Misi itu salah satunya tampak dalam surat yang dikirimkan Rasulullah saw. kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi, “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).

Dari sini tampak bahwa hanya dengan penghambaan kepada Sang Pencipta, kemerdekaan hakiki bisa diwujudkan. Aturan hidup yang dibuat-Nya dan diterapkan secara kafah di tengah umat akan menjamin kesejahteraan hakiki yang diinginkan setiap hamba yang mendambakan kemerdekaan. Kemerdekaan seperti inilah yang semestinya kita perjuangkan bersama. [EL]

 

Kontributor: Ummu Salwa. Penulis, Editor, dan Pegiat Literasi Muslimah.