AMAZINGSEDEKAH.COM- Kemerdekaan Indonesia telah menginjak usia ke-79 tahun. Sebuah angka yang tidak sedikit. Penting kiranya merenungi perjalanan negeri ini. Apakah kemerdekaan yang telah diraih, berhasil mendatangkan berkah berupa kesejahteraan rakyat atau sebaliknya.
Sebelum merdeka, rakyat hidup terjajah secara fisik
dan jauh dari kata sejahtera. Setelah merdeka selama 79 tahun, seharusnya
negeri ini telah berada dalam kondisi makmur sejahtera, berkeadilan, dan
berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing dan tidak bergantung pada mereka.
Kenyataannya, tingkat kemiskinan negeri ini terus
bertambah, juga didera berbagai krisis multidimensi. Kemakmuran hanya serupa
mimpi kosong. Bahkan momen hari kemerdekaan belum dimanfaatkan untuk merenung, malah
dipenuhi dengan agenda seremonial atau lomba-lomba tujuh belas agustusan yang
tak ada kaitannya dengan refleksi perjuangan kemerdekaan para pahlawan
terdahulu.
![]() |
Upacara 17 Agustus 2024 di salah satu SD di Kalsel. Foto: Antara |
Perlu kita ingat, betapa udara kemerdekaan yang kita
hirup merupakan buah pengorbanan darah dan air mata para pahlawan bangsa di
seluruh nusantara. Salah satunya yang fenomenal adalah perjuangan para pahlawan
di Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan.
Pengorbanan para tentara dan dan rakyat Surabaya itu
menjadi peristiwa yang tercatat sebagai pertempuran terbesar dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia. Puncaknya tanggal 10 November 1945 merupakan bagian dari
rentetan penolakan terhadap kedatangan tentara Inggris ke Surabaya yang
ditunggangi kepentingan Belanda.
Inggris yang awalnya hanya bertugas melucuti semua
persenjataan tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang, justru memaksa
pejuang Surabaya untuk menyerahkan senjata. Hal tersebut ditentang para pejuang
dan menimbulkan pertempuran selama tiga hari.
Di tengah upaya perundingan antara pihak sekutu dan
Indonesia, seorang panglima tentara sekutu Brigjen Mallaby terbunuh di tengah
kerusuhan massa. Pihak sekutu bereaksi keras dengan mengeluarkan ultimatum yang
memicu pertempuran besar 10 November 1945. Pertempuran selama 16 hari tersebut
menewaskan lebih kurang 15.000 jiwa.
Saat itu, pekikan takbir berkumandang di mana-mana, membakar
semangat para pemuda Surabaya di medan perang. Mereka, adalah para pejuang
Islam yang datang berperang dengan semangat mempertahankan tanah Surabaya dari
ancaman serdadu Inggris.
Rais Akbar (pemimpin besar) Nahdlatul Ulama, Kiai Haji
Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad Fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945.
Dalam resolusi itu, siapa pun yang berada dalam radius keliling 94 kilometer
diwajibkan untuk datang melawan penjajah. Penjajahan Belanda dan Jepang selama
ini dianggap sebagai kekejaman yang mendatangkan penderitaan.
Panggilan jihad tersebut sangat berpengaruh. Di
beberapa buku disebutkan santri-santri dari berbagai pesantren menyambut seruan
itu. Semuanya bergerak menuju Surabaya dengan membawa senjata masing-masing.
Semangat berapi-api para santri itu membuat Resolusi Jihad dianggap sebagai
salah satu musabab dari pecahnya pertempuran 10 November.
Dilansir dari https://minanews.net/refleksi-hari-pahlawan-bung-tomo-dan-kalimat-takbir/ bahwa sebelum
pertempuran dahsyat tanggal 10 November 1945, pemuda Surabaya Bung Tomo
(Sutomo) bin Kartawan Tjiptowijojo menyempatkan diri menemui Hadratussyeikh KH
Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) kala itu. Bung Tomo
meminta ijin kepada Kiai Hasyim untuk membaca pidato yang merupakan manifestasi
Resolusi Jihad, seruan para kiai NU pada 22 Oktober 1945.
Dalam pertempuran
Surabaya yang menentukan, berkah Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari,
Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), mendorong semangat jihad Bung Tomo melawan
sekutu dengan mengumandangkan kalimat Takbir “Allahu Akbar!”.
Bung Tomo
mendirikan radio perjuangan yang ia sebut sebagai Radio Pemberontakan RI, untuk
menyiarkan berita-berita perjuangan. Bung Tomo saat itu masih berstatus
wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik
Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya saat itu. Namun
kemudian ia keluar dari ANTARA dan PRI, lebih memilih aktif melalui Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Melalui BPRI
inilah Bung Tomo melawan sekutu saat mendarat di Surabaya pada Oktober 1945,
sampai pecah pertempuran 10 November 1945.
Bung Tomo
membangkitkan semangat juang Bangsa Indonesia dalam menghadapi pendaratan
Tentara Sekutu Inggris (AFNEI) dan Belanda (NICA) yang akan kembali menjajah
negeri, dengan senantiasa menutup pidato perlawanannya di radio dengan
mengucapkan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”.
Kalimat lain Bung
Tomo yang melegenda adalah, “Andai tidak ada kalimat Takbir, saya tidak tahu
dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah.”
Kemerdekaan
Hakiki
Melihat gigihnya para pahlawan melawan penjajahan,
patut kiranya kita bersyukur akan kemerdekaan hari ini, tapi juga sekaligus
bertafakkur mempertanyakan pada diri, apakah kini kita sudah benar-benar
merdeka? Dan apakah kemerdekaan hakiki yang diinginkan para pejuang di masa
lalu, telah kita raih?
Kebanyakan umat
cenderung memaknai kata “merdeka” ketika penjajah secara fisik telah terusir dari
bumi Indonesia. Padahal, penjajahan gaya baru justru lebih berbahaya, yakni
penjajahan pemikiran, ekonomi, dan budaya. Bangsa ini kenyataannya tak kuasa
menolak dominasi asing sehingga sulit bangkit menjadi negeri yang makmur dan
kuat.
Kemerdekaan hakiki, sejatinya adalah ketika umat
terbebas dari penjajahan pemikiran sekuler, hukum jahiliah, ekonomi ribawi, budaya
barat dan segenap tatanan yang tidak islami.
![]() |
Kemerdekaan hakiki hanya menjadi menghamba pada Allah Taala. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro |
Risalah Islam
diturunkan dengan membawa misi kemerdekaan umat manusia dalam makna yang
hakiki, yakni memerdekakan umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia
dan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah Taala.
Misi itu salah
satunya tampak dalam surat yang dikirimkan Rasulullah saw. kepada penduduk
Najran. Di antara isinya berbunyi, “Amma ba’du. Aku
menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan
kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam
kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba
(manusia).” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, v/553).
Dari sini tampak
bahwa hanya dengan penghambaan kepada Sang Pencipta, kemerdekaan hakiki bisa
diwujudkan. Aturan hidup yang dibuat-Nya dan diterapkan secara kafah di tengah
umat akan menjamin kesejahteraan hakiki yang diinginkan setiap hamba yang
mendambakan kemerdekaan. Kemerdekaan seperti inilah yang semestinya kita
perjuangkan bersama. [EL]
Kontributor: Ummu Salwa. Penulis, Editor, dan Pegiat Literasi Muslimah.