Selasa, 27 Agustus 2024

Tak Ada Drama Kopi Sianida dalam Islam

Pengadilan dalam Islam

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Drama kopi sianida pernah menggemparkan Indonesia sepanjang tahun 2016, ternyata memasuki babak baru di tahun 2024 ini. Ditandai dengan pembebasan bersyarat Jessica Kumala Wongso, terpidana kasus pembunuhan dengan racun sianida. Ramai diberitakan oleh media, kabar bebasnya Jessica dari Lapas Perempuan kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada Minggu, 18 Agustus 2024. Ia menghirup udara bebas setelah ditahan sejak 30 Juni 2016 dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena kasus pembunuhan tersebut.

Saking berlarut-larut dan menguras emosi, jalannya persidangan kasus Jessica diabadikan dalam film dokumenter yang tayang di salah satu aplikasi berjudul "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso".

Film dokumenter Kasus Jessica Wongso
Poster Film Kasus Jessica Wongso

Pada persidangan tahun 2016 itu, opini publik terbelah. Ada yang meyakini Jessica bersalah, dan ada yang membelanya, mengingat adanya beberapa kejanggalan dalam bukti-bukti. Para ahli pun dihadirkan. Mereka beradu argumen dengan sengit. Ahli toksikologi berdebat tentang kadar sianida dalam tubuh Mirna, sedangkan psikolog forensik menganalisis perilaku Jessica yang dianggap janggal.

Jessica sendiri dibantu kuasa hukumnya keukeuh menyatakan diri tak bersalah. Namun, hasilnya, Jessica tetap dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana Mirna dan dijatuhi hukuman 20 tahun. Walaupun demikian, kasus itu tetap mengandung misteri dan kebenaran sulit terungkap secara gamblang. Sebagian pihak masih mempertanyakan apakah keadilan benar-benar telah ditegakkan.

Bebasnya Jessica tahun ini pun masih menyisakan kegelisahan di kalangan publik. Vonis hukuman 20 tahun penjara, tahu-tahu dipangkas jadi delapan tahun. Ada wacana pula dari kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, bahwa pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung mengingat jenazah mendiang Mirna diklaim mati karena racun sianida, tanpa melalui autopsi. Pihaknya juga mengungkapkan bukti baru, sebagaimana dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240819011425-12-1134580/fakta-fakta-jessica-wongso-usai-bebas-bersyarat-di-kasus-kopi-sianida.

Terombang-ambingnya kasus tersebut menunjukkan ambigunya bukti dan saksi dalam peradilan hari ini. Situasi tersebut tidak pernah ditemukan dalam masa peradaban Islam.

Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, pernah ada kasus pembunuhan tanpa bukti sama sekali. Tersebutlah kisah seorang pemuda datang kepada Khalifah Ali dan mengadukan bahwa bapaknya pergi bersama beberapa orang. Tatkala teman-teman bapaknya pulang, mereka mengabarkan bahwa bapaknya telah meninggal dan tidak meninggalkan harta apa pun.

Khalifah Ali pun segera memerintahkan dua polisi untuk masing-masing tertuduh supaya mencegah terjadi bentrokan di antara mereka. Kemudian Khalifah Ali menanyakan kepada masing-masing tertuduh dengan cermat tentang kapan kepergiannya mereka, tempat singgah mereka, sebab meninggalnya teman mereka, dan bagaimana didapatkan hartanya. Juga tentang bagaimana dia dimakamkan, di mana tempatnya, dan pertanyaan-pertanyaan yang mendetail seperti itu.

Namun, ternyata jawaban masing-masing berbeda dengan yang lain. Maka dia memerintahkan untuk menahan mereka, dan masing-masing mengira bahwa kawannya telah mengaku. Ketika itulah mereka mengakui masalah yang sebenarnya. Akhirnya, Khalifah Ali menetapkan denda kepada mereka dan hukuman mati dengan qishash. Peristiwa tersebut menetapkan tentang bolehnya memisahkan para terdakwa untuk mencermati permasalahan yang sebenarnya dan bahwa pengakuan yang muncul akibat tersebut dinilai benar dan tidak ada paksaan.

Pada hakikatnya, manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk. Karena sifat dasar itulah, Allah menciptakan sistem yang unik untuk manusia agar keunikannya bisa dipecahkan. Untuk itu, di samping hukum-hukum problem solving yang lain, Allah juga telah menetapkan uqubat (sanksi hukum) atas semua manusia secara adil, baik muslim ataupun nonmuslim. Semuanya wajib dikenai sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran sebagaimana yang dilakukan terhadap kaum muslimin. Sebab, dalam pandangan Islam, sifat dasar manusia adalah sama. Sama-sama mempunyai potensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan.

Islam memandang uqubat tersebut sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an:

Dan dalam hukuman kisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.”(QS Al-Baqarah: 179)

Uqubat juga bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat. Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif), adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tobat nasuhah.

Fiqih kasus pembunuhan

Salah satu sanksi uqubat adalah jinayah. Menurut bahasa, jinayah adalah kejahatan, sedangkan menurut istilah syara’, jinayah adalah tindakan melanggar anggota tubuh yang menjadi bagian organ yang wajib dikisas dalam bentuk hukuman badan atau harta kekayaan. Kejahatan yang masuk dalam wilayah jinayah ini adalah pembunuhan dan tindakan melukai atau mencederai anggota tubuh.

Pembunuhan sendiri, ada yang dilakukan dengan sengaja (‘amd), menyerupai sengaja (syibh al-’amd), dan ada yang dilakukan karena khilaf (khatha’). Orang yang membunuh dengan sengaja (‘amd) adalah orang yang membunuh dengan menggunakan senjata pembunuh, seperti pisau, parang, pistol, dan sejenisnya. Orang seperti ini akan dijatuhi hukuman mati, jika keluarga korban tidak mau memaafkan dan menerima diat. Namun, orang tua yang sengaja membunuh anaknya, wajib dijatuhi hukuman, tetapi tidak sampai dihukum mati.

Orang yang membunuh menyerupai pembunuhan yang disengaja (syibh al-’amd) adalah tidak sengaja membunuh. Seperti memukul orang dengan kayu, melempar dengan batu kecil, atau alat yang secara umum tidak digunakan untuk melakukan pembunuhan, tetapi orang tersebut meninggal.

Orang seperti ini dikenakan hukuman diat mughâladhah (ganti rugi yang berlipat ganda), yaitu memberikan terbusan 100 ekor unta, 40 di antaranya adalah unta yang tengah bunting yang diserahkan kepada keluarga korban. Jika dia tidak mampu, dia wajib membayar kafarat dengan memerdekakan budak perempuan mukminah, atau puasa dua bulan berturut-turut.

Orang yang membunuh karena salah adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak dimaksud untuk membunuh, seperti menembak burung, tetapi pelurunya mengenai orang. Adapun hukumannya adalah di atas mukhaffafah, yaitu memberikan 100 ekor unta kepada keluarga korban, atau memerdekakan hamba perempuan mukminah.

Cara pembuktian kasus pembunuhan tersebut adalah dengan menghadirkan dua saksi laki-laki atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan yang adil di pengadilan. Jika tidak ada, harus ada pengakuan dari pelaku pembunuhan. Jika keduanya tidak ada, maka hukuman tersebut tidak bisa dijatuhkan.

Sementara tindakan melukai atau mencederai anggota tubuh, harus diteliti. Jika seseorang menghilangkan organ tubuh tunggal, seperti lidah, orang tersebut harus dikenakan diat 100% seperti pembunuhan. Jika menghilangkan organ tubuh ganda, seperti tangan atau telinga, maka jika yang dihilangkan adalah salah satu organ saja, dia harus dikenakan diat 50%, dan jika kedua-duanya sekaligus, dia harus dikenakan diat 100%.

Jika organ tubuh yang dihilangkan berupa pelupuk mata, maka dia harus dikenakan diat 25% atau jika jari-jari tangan yang dihilangkan maka tiap satu jari dikenakan diat 10%. Sementara untuk gigi, diatnya berbeda; jika menghilangkan satu gigi, akan dikenakan 5 ekor unta.

Demikianlah sanksi hukum terhadap kasus pembunuhan atau melukai orang lain dalam Islam. Dan yang patut diketahui pula, sistem peradilan dalam Islam menetapkan hanya satu kadi (hakim) yang bertanggung jawab dalam setiap perkara. Ia berwenang mengadili perkara yang diadukan dan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Kadi-kadi lainnya hanya berhak membantu dan memberikan masukan jika ia diminta oleh kadi yang memimpin persidangan.

Sanksi Islam hanya dapat dikenakan jika bukti-bukti yang ada secara pasti menunjukkan perbuatan kriminal seseorang dan seluruh syarat terpenuhi, seperti syarat empat orang saksi dalam perkara perzinaan. Jika sedikit saja ada keraguan atas bukti yang diajukan, kasus yang tengah diadili akan dihentikan.

Dalam peradilan Islam, setiap orang, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim, terdakwa maupun tertuduh, berhak untuk mengangkat seseorang untuk mewakilinya.

Selain itu, tidak ada perbedaan antara peradilan sipil dan peradilan militer seperti saat ini kita dapati di negeri-negeri muslim. Peradilan hanya akan menggunakan sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan.

Sanksi Islam diterapkan tanpa ditunda-tunda dan dilakukan tanpa keraguan. Tidak ada seorang pun yang mendapat sanksi, kecuali setelah mendapatkan vonis pengadilan. Selain itu, berbagai bentuk penganiayaan tidak akan pernah diizinkan.

Dalam peradilan Islam, seorang korban kejahatan berhak memaafkan pelaku kejahatan atau menuntut tanggung jawab (kisas) atas sebuah kejahatan, kecuali sanksi-sanksi hudud yang merupakan hak Allah Taala.

Demikianlah, Islam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan secara tuntas tanpa ada drama dalam proses sidang pengadilannya.

 والله أعلمُ بالـصـواب

[EL].

 

 

Referensi: Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual

Kontributor: Ummu Salwa.

Author, Writer, dan Editor free-lance.