AMAZINGSEDEKAH.COM- Drama kopi sianida pernah menggemparkan Indonesia sepanjang tahun 2016, ternyata memasuki babak baru di tahun 2024 ini. Ditandai dengan pembebasan bersyarat Jessica Kumala Wongso, terpidana kasus pembunuhan dengan racun sianida. Ramai diberitakan oleh media, kabar bebasnya Jessica dari Lapas Perempuan kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada Minggu, 18 Agustus 2024. Ia menghirup udara bebas setelah ditahan sejak 30 Juni 2016 dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena kasus pembunuhan tersebut.
Saking berlarut-larut dan menguras
emosi, jalannya persidangan kasus Jessica diabadikan dalam film dokumenter yang
tayang di salah satu aplikasi berjudul "Ice Cold: Murder, Coffee, and
Jessica Wongso".
![]() |
Poster Film Kasus Jessica Wongso |
Pada persidangan tahun 2016 itu, opini
publik terbelah. Ada yang meyakini Jessica bersalah, dan ada yang membelanya,
mengingat adanya beberapa kejanggalan dalam bukti-bukti. Para ahli pun
dihadirkan. Mereka beradu argumen dengan sengit. Ahli toksikologi berdebat
tentang kadar sianida dalam tubuh Mirna, sedangkan psikolog forensik
menganalisis perilaku Jessica yang dianggap janggal.
Jessica sendiri dibantu kuasa hukumnya
keukeuh menyatakan diri tak bersalah. Namun, hasilnya, Jessica tetap dinyatakan
bersalah atas pembunuhan berencana Mirna dan dijatuhi hukuman 20 tahun.
Walaupun demikian, kasus itu tetap mengandung misteri dan kebenaran sulit
terungkap secara gamblang. Sebagian pihak masih mempertanyakan apakah keadilan
benar-benar telah ditegakkan.
Bebasnya Jessica tahun ini pun masih menyisakan
kegelisahan di kalangan publik. Vonis hukuman 20 tahun penjara, tahu-tahu
dipangkas jadi delapan tahun. Ada wacana pula dari kuasa hukum Jessica, Otto
Hasibuan, bahwa pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung mengingat jenazah mendiang Mirna diklaim mati karena racun sianida, tanpa
melalui autopsi. Pihaknya juga mengungkapkan bukti baru, sebagaimana dikutip
dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240819011425-12-1134580/fakta-fakta-jessica-wongso-usai-bebas-bersyarat-di-kasus-kopi-sianida.
Terombang-ambingnya kasus tersebut
menunjukkan ambigunya bukti dan saksi dalam peradilan hari ini. Situasi tersebut
tidak pernah ditemukan dalam masa peradaban Islam.
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, pernah ada kasus pembunuhan tanpa bukti sama sekali. Tersebutlah kisah seorang
pemuda datang kepada Khalifah Ali dan mengadukan bahwa bapaknya pergi bersama
beberapa orang. Tatkala teman-teman bapaknya pulang, mereka mengabarkan bahwa
bapaknya telah meninggal dan tidak meninggalkan harta apa pun.
Khalifah Ali pun segera memerintahkan
dua polisi untuk masing-masing tertuduh supaya mencegah terjadi bentrokan di
antara mereka. Kemudian Khalifah Ali menanyakan kepada masing-masing tertuduh
dengan cermat tentang kapan kepergiannya mereka, tempat singgah mereka, sebab
meninggalnya teman mereka, dan bagaimana didapatkan hartanya. Juga tentang
bagaimana dia dimakamkan, di mana tempatnya, dan pertanyaan-pertanyaan yang
mendetail seperti itu.
Namun, ternyata jawaban masing-masing
berbeda dengan yang lain. Maka dia memerintahkan untuk menahan mereka, dan
masing-masing mengira bahwa kawannya telah mengaku. Ketika itulah mereka
mengakui masalah yang sebenarnya. Akhirnya, Khalifah Ali menetapkan denda
kepada mereka dan hukuman mati dengan qishash. Peristiwa tersebut menetapkan
tentang bolehnya memisahkan para terdakwa untuk mencermati permasalahan yang
sebenarnya dan bahwa pengakuan yang muncul akibat tersebut dinilai benar dan
tidak ada paksaan.
Pada hakikatnya, manusia memiliki
potensi untuk berbuat baik dan buruk. Karena sifat dasar itulah, Allah
menciptakan sistem yang unik untuk manusia agar keunikannya bisa dipecahkan. Untuk
itu, di samping hukum-hukum problem solving
yang lain, Allah juga telah menetapkan uqubat (sanksi
hukum) atas semua manusia secara adil, baik muslim ataupun nonmuslim. Semuanya
wajib dikenai sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran sebagaimana yang
dilakukan terhadap kaum muslimin. Sebab, dalam pandangan Islam, sifat dasar
manusia adalah sama. Sama-sama mempunyai potensi untuk melakukan kebaikan dan
keburukan.
Islam memandang uqubat tersebut
sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut
pencegah (preventif) karena dengan
diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat
dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama. Hal ini
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an:
“Dan dalam hukuman
kisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai
pikiran agar kalian bertakwa.”(QS
Al-Baqarah: 179)
Uqubat juga bisa mencegah dijatuhkannya
hukuman di akhirat. Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif), adalah agar
orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa
dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan
selama-lamanya atau tobat nasuhah.
Salah satu sanksi uqubat adalah
jinayah. Menurut bahasa, jinayah adalah kejahatan, sedangkan
menurut istilah syara’, jinayah adalah tindakan melanggar anggota tubuh
yang menjadi bagian organ yang wajib dikisas dalam bentuk hukuman badan atau
harta kekayaan. Kejahatan yang masuk dalam wilayah jinayah ini adalah
pembunuhan dan tindakan melukai atau mencederai anggota tubuh.
Pembunuhan sendiri, ada yang dilakukan
dengan sengaja (‘amd), menyerupai sengaja
(syibh al-’amd), dan ada yang
dilakukan karena khilaf (khatha’).
Orang yang membunuh dengan sengaja (‘amd)
adalah orang yang membunuh dengan menggunakan senjata pembunuh, seperti pisau,
parang, pistol, dan sejenisnya. Orang seperti ini akan dijatuhi hukuman mati,
jika keluarga korban tidak mau memaafkan dan menerima diat. Namun, orang tua
yang sengaja membunuh anaknya, wajib dijatuhi hukuman, tetapi tidak sampai
dihukum mati.
Orang yang membunuh menyerupai
pembunuhan yang disengaja (syibh al-’amd)
adalah tidak sengaja membunuh. Seperti memukul orang dengan kayu, melempar
dengan batu kecil, atau alat yang secara umum tidak digunakan untuk melakukan
pembunuhan, tetapi orang tersebut meninggal.
Orang seperti ini dikenakan hukuman
diat mughâladhah (ganti rugi
yang berlipat ganda), yaitu memberikan terbusan 100 ekor unta, 40 di antaranya
adalah unta yang tengah bunting yang diserahkan kepada keluarga korban. Jika
dia tidak mampu, dia wajib membayar kafarat dengan memerdekakan budak perempuan
mukminah, atau puasa dua bulan berturut-turut.
Orang yang membunuh karena salah
adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak dimaksud untuk membunuh, seperti
menembak burung, tetapi pelurunya mengenai orang. Adapun hukumannya adalah di
atas mukhaffafah, yaitu
memberikan 100 ekor unta kepada keluarga korban, atau memerdekakan hamba
perempuan mukminah.
Cara pembuktian kasus pembunuhan
tersebut adalah dengan menghadirkan dua saksi laki-laki atau satu saksi
laki-laki dan dua saksi perempuan yang adil di pengadilan. Jika tidak ada,
harus ada pengakuan dari pelaku pembunuhan. Jika keduanya tidak ada, maka
hukuman tersebut tidak bisa dijatuhkan.
Sementara tindakan melukai atau
mencederai anggota tubuh, harus diteliti. Jika seseorang menghilangkan organ
tubuh tunggal, seperti lidah, orang tersebut harus dikenakan diat 100% seperti
pembunuhan. Jika menghilangkan organ tubuh ganda, seperti tangan atau telinga,
maka jika yang dihilangkan adalah salah satu organ saja, dia harus dikenakan
diat 50%, dan jika kedua-duanya sekaligus, dia harus dikenakan diat 100%.
Jika organ tubuh yang dihilangkan
berupa pelupuk mata, maka dia harus dikenakan diat 25% atau jika jari-jari
tangan yang dihilangkan maka tiap satu jari dikenakan diat 10%. Sementara untuk
gigi, diatnya berbeda; jika menghilangkan satu gigi, akan dikenakan 5 ekor
unta.
Demikianlah sanksi hukum terhadap
kasus pembunuhan atau melukai orang lain dalam Islam. Dan yang patut diketahui
pula, sistem peradilan dalam Islam menetapkan hanya satu
kadi (hakim) yang bertanggung jawab dalam setiap perkara. Ia berwenang mengadili
perkara yang diadukan dan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Kadi-kadi
lainnya hanya berhak membantu dan memberikan masukan jika ia diminta oleh kadi
yang memimpin persidangan.
Sanksi Islam
hanya dapat dikenakan jika bukti-bukti yang ada secara pasti menunjukkan
perbuatan kriminal seseorang dan seluruh syarat terpenuhi, seperti syarat empat
orang saksi dalam perkara perzinaan. Jika sedikit saja ada keraguan atas bukti
yang diajukan, kasus yang tengah diadili akan dihentikan.
Dalam
peradilan Islam, setiap orang, laki-laki maupun perempuan, muslim maupun
nonmuslim, terdakwa maupun tertuduh, berhak untuk mengangkat seseorang untuk
mewakilinya.
Selain itu,
tidak ada perbedaan antara peradilan sipil dan peradilan militer seperti saat
ini kita dapati di negeri-negeri muslim. Peradilan hanya akan menggunakan
sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan.
Sanksi Islam
diterapkan tanpa ditunda-tunda dan dilakukan tanpa keraguan. Tidak ada seorang
pun yang mendapat sanksi, kecuali setelah mendapatkan vonis pengadilan. Selain
itu, berbagai bentuk penganiayaan tidak akan pernah diizinkan.
Dalam
peradilan Islam, seorang korban kejahatan berhak memaafkan pelaku kejahatan
atau menuntut tanggung jawab (kisas) atas sebuah kejahatan, kecuali sanksi-sanksi
hudud yang merupakan hak Allah Taala.
Demikianlah,
Islam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan secara tuntas tanpa ada drama dalam
proses sidang pengadilannya.
والله
أعلمُ بالـصـواب
[EL].
Referensi:
Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual
Kontributor:
Ummu Salwa.
Author, Writer,
dan Editor free-lance.