AMAZINGSEDEKAH.COM- Hiruk pikuk pilkada telah di ambang pintu, usai pilpres yang menguras energi. Khilafiyah memilih pemimpin masih jadi isu santer di tengah masyarakat.
Sebagai muslim, tentunya kita wajib membidik persoalan ini lewat kacamata Islam. Dalam politik Islam, rakyat dilibatkan dalam proses memilih dan mengangkat penguasa (pihak yang mempunyai otoritas untuk mengatur urusan-urusan rakyat). Tersebab kedaulatan ada di tangan Allah Subhanahu wa taala, maka penguasa adalah wakil rakyat dalam menerapkan atau menjalankan hukum Allah di tengah kehidupan masyarakat.
Dalil yang berkaitan dengan
kedaulatan ini adalah firman Allah, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan kemudian mereka merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS An-Nisa’: 65).
Dalam literatur fikih, persoalan kepemimpinan yang terkait dengan
negara atau kekuasaan politik biasanya disebut khilafah dan untuk orang yang
memegang jabatan kepemimpinan Islam disebut khalifah.
Adapun dalil yang mempertegas urgensinya memiliki pemimpin,
dijelaskan sebagai berikut. Dalam surat al-Nisa` ayat 59, Allah berfirman yang
artinya: “Hai orang-orang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya
dan ulil amri di antara kamu.”
Jadi kalau umat Islam disuruh menta’ati pemimpin berarti umat
Islam memerlukan adanya pemimpin yang akan mengatur urusan mereka. Jangankan
untuk pemimpin negara, dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang saja,
Rasulullah menyuruh salah seorang di antara mereka untuk jadi pemimpin.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abu
Hurairah sebagai berikut: “Apabila tiga orang melakukan perjalanan
jauh/musafir maka hendaklah salah seorang tampil sebagai pemimpin mereka.”
Sebagaimana halnya dengan urusan pimpinan lainnya, secara umum
Al-Qur`an dan Sunnah menyebutkan unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih dan mengangkat seorang pemimpin. Ketika Allah memilih Thalut sebagai
raja Bani Israil disebutkan juga kelebihan Thalut yang dipilih itu, yaitu ilmu
yang luas dan tubuh yang kekar (Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 247). Berarti,
seorang pemimpin itu memiliki keunggulan dalam hal pengetahuan dan fisik.
Di samping persoalan penguasaan ilmu dan postur fisik, Al-Qur`an
dan Sunnah juga menyebut kriteria agama untuk seseorang yang akan
dipilih sebagai pemimpin ummat Islam.
Berikut ini dikemukakan ayat-ayat Al-Qur`an yang menyebutkan
pertimbangan agama dalam memilih pemimpin. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 28 Allah
melarang orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S.
Ali Imran: 28)
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan. Pertama, dalam
Al-Qur`an dan Sunnah terdapat ketentuan tentang memilih pemimpin. Kedua, agar
terlaksananya ketentuan syari’at Islam secara menyeluruh, wajib hukumnya bagi
umat Islam mengangkat pemimpin. Ketiga, umat Islam wajib memilih pemimpin yang
muslim dan haram memilih non muslim.
Kepemimpinan politik (pemerintahan) dalam Islam adalah tunggal,
tidak ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Khalifah
adalah kepala negara sekaligus secara riil menjadi kepala pemerintahan. Rakyat
hanya sekali dilibatkan dalam proses memilih dan mengangkat kepala negara (yang
gelarnya adalah khalifah, imam, atau amirulmukminin) sepanjang kepala negara
terpilih tetap menjalankan Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ululamri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikan ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian. (QS An-Nisa’: 59).
Makna “kembalikan ia kepada
Allah dan Rasul” adalah “kembalikan kepada hukum syara’”.
Syariat Islam telah menjadikan
pengangkatan khalifah oleh umat, yakni seorang khalifah hanya memiliki
kekuasaan melalui baiat. Dalil bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan
khalifah oleh umat adalah tegas sekali di dalam hadis-hadis tentang baiat.
Nabi Shallallahu alaihi wasallam,
sekalipun beliau adalah Rasul, beliau tetap saja mengambil baiat dari tangan
umat. Ini artinya, baiat untuk mendapatkan kekuasaan dan pemerintahan, bukan
baiat terhadap kenabian.
Beliau Shallallahu alaihi
wasallam telah mengambil baiat tersebut, baik dari pria maupun wanita.
Beliau tidak mengambil baiat dari anak-anak kecil yang belum balig.
Imam Muslim meriwayatkan dari
Ubadah bin Shamit yang berkata, “Kami telah membai’at Rasulullah untuk setia
mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah,
baik dalam keadaan yang kami senangi atapun tidak kami senangi.”
Dari Jarir bin Abdullah, “Aku
telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati
perintahnya, dan aku akan menasihati setiap muslim.”
Baiat tersebut diberikan oleh
kaum muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslim karena
merekalah yang membaiat khalifah. Merekalah yang sebenarnya mengangkat khalifah
sebagai penguasa mereka.
Pada masa khulafaurasyidin,
mereka telah menjadi khalifah dengan cara mengambil baiat dari tangan umat.
Tidak ada yang menjadi khalifah, kecuali dengan baiat dari umat yang diberikan
kepada mereka.
Dari Abu Hurairah berkata, Nabi
saw. bersabda, “Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan urusannya dipelihara
oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi
yang lain. Sesungguhnya, tidak akan ada nabi setelahku. Akan tetapi, nanti akan
ada banyak khalifah. Para sahabat bertanya, ‘Apakah yang engkau perintahkan
kepada kami?’ Rasulullah saw. menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama dan yang
pertama saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut
pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang urusannya dibebankan kepada
mereka.” (HR Imam Muslim dari Abi Hazim).
Hadis-hadis ini menunjukkan
bahwa khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata melalui baiat. Allah telah
mewajibkan agar menaati khalifah dengan adanya baiat sebab khalifah baru akan
mendapatkan kekhalifahannya melalui baiat. Umat wajib menaatinya karena ia
adalah khalifah yang benar-benar telah dibaiat.
Kaum muslimlah yang mengangkat
seorang khalifah dan membaiat mereka dengan Kitabullah dan Sunah
Rasul-Nya, di samping khalifah mendapatkan kekuasaan hanya dengan adanya baiat
tersebut.
Semua itu menjadi dalil tegas
bahwa kekuasaan adalah milik umat yang umat bisa memberikannya kepada siapa
saja yang mereka kehendaki.
Adapun batasan kepatuhan kepada pemimpin dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut :