Selasa, 03 September 2024

Urgensinya Memilih dan Mengangkat Pemimpin

Urgensi Memilih dan Mengangkat Pemimpin

 AMAZINGSEDEKAH.COM- Hiruk pikuk pilkada telah di ambang pintu, usai pilpres yang menguras energi. Khilafiyah memilih pemimpin masih jadi isu santer di tengah masyarakat.

Sebagai muslim, tentunya kita wajib membidik persoalan ini lewat kacamata Islam. Dalam politik Islam, rakyat dilibatkan dalam proses memilih dan mengangkat penguasa (pihak yang mempunyai otoritas untuk mengatur urusan-urusan rakyat). Tersebab kedaulatan ada di tangan Allah Subhanahu wa taala, maka penguasa adalah wakil rakyat dalam menerapkan atau menjalankan hukum Allah di tengah kehidupan masyarakat.

Dalil yang berkaitan dengan kedaulatan ini adalah firman Allah, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65).

Dalam literatur fikih, persoalan kepemimpinan yang terkait dengan negara atau kekuasaan politik biasanya disebut khilafah dan untuk orang yang memegang jabatan kepemimpinan Islam disebut khalifah.

Adapun dalil yang mempertegas urgensinya memiliki pemimpin, dijelaskan sebagai berikut. Dalam surat al-Nisa` ayat 59, Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.”

Jadi kalau umat Islam disuruh menta’ati pemimpin berarti umat Islam memerlukan adanya pemimpin yang akan mengatur urusan mereka. Jangankan untuk pemimpin negara, dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang saja, Rasulullah menyuruh salah seorang di antara mereka untuk jadi pemimpin.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Apabila tiga orang melakukan perjalanan jauh/musafir maka hendaklah salah seorang tampil sebagai pemimpin mereka.”

Sebagaimana halnya dengan urusan pimpinan lainnya, secara umum Al-Qur`an dan Sunnah menyebutkan unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan mengangkat seorang pemimpin. Ketika Allah memilih Thalut sebagai raja Bani Israil disebutkan juga kelebihan Thalut yang dipilih itu, yaitu ilmu yang luas dan tubuh yang kekar (Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 247). Berarti, seorang pemimpin itu memiliki keunggulan dalam hal pengetahuan dan fisik.

Di samping persoalan penguasaan ilmu dan postur fisik, Al-Qur`an dan Sunnah juga menyebut kriteria agama untuk seseorang yang akan dipilih sebagai pemimpin ummat Islam.

Pilkada serentak


Berikut ini dikemukakan ayat-ayat Al-Qur`an yang menyebutkan pertimbangan agama dalam memilih pemimpin. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 28 Allah melarang orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali.

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S. Ali Imran: 28)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan. Pertama, dalam Al-Qur`an dan Sunnah terdapat ketentuan tentang memilih pemimpin. Kedua, agar terlaksananya ketentuan syari’at Islam secara menyeluruh, wajib hukumnya bagi umat Islam mengangkat pemimpin. Ketiga, umat Islam wajib memilih pemimpin yang muslim dan haram memilih non muslim.

Kepemimpinan politik (pemerintahan) dalam Islam adalah tunggal, tidak ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Khalifah adalah kepala negara sekaligus secara riil menjadi kepala pemerintahan. Rakyat hanya sekali dilibatkan dalam proses memilih dan mengangkat kepala negara (yang gelarnya adalah khalifah, imam, atau amirulmukminin) sepanjang kepala negara terpilih tetap menjalankan Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ululamri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikan ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. (QS An-Nisa’: 59).

Makna “kembalikan ia kepada Allah dan Rasul” adalah “kembalikan kepada hukum syara’”.

Syariat Islam telah menjadikan pengangkatan khalifah oleh umat, yakni seorang khalifah hanya memiliki kekuasaan melalui baiat. Dalil bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan khalifah oleh umat adalah tegas sekali di dalam hadis-hadis tentang baiat.

Nabi Shallallahu alaihi wasallam, sekalipun beliau adalah Rasul, beliau tetap saja mengambil baiat dari tangan umat. Ini artinya, baiat untuk mendapatkan kekuasaan dan pemerintahan, bukan baiat terhadap kenabian.

Beliau Shallallahu alaihi wasallam telah mengambil baiat tersebut, baik dari pria maupun wanita. Beliau tidak mengambil baiat dari anak-anak kecil yang belum balig.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit yang berkata, “Kami telah membai’at Rasulullah untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atapun tidak kami senangi.”

Dari Jarir bin Abdullah, “Aku telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati perintahnya, dan aku akan menasihati setiap muslim.”

Baiat tersebut diberikan oleh kaum muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslim karena merekalah yang membaiat khalifah. Merekalah yang sebenarnya mengangkat khalifah sebagai penguasa mereka.

Pada masa khulafaurasyidin, mereka telah menjadi khalifah dengan cara mengambil baiat dari tangan umat. Tidak ada yang menjadi khalifah, kecuali dengan baiat dari umat yang diberikan kepada mereka.

Dari Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda, “Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan urusannya dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak akan ada nabi setelahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah. Para sahabat bertanya, ‘Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?’ Rasulullah saw. menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka tentang rakyat yang urusannya dibebankan kepada mereka.” (HR Imam Muslim dari Abi Hazim).

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata melalui baiat. Allah telah mewajibkan agar menaati khalifah dengan adanya baiat sebab khalifah baru akan mendapatkan kekhalifahannya melalui baiat. Umat wajib menaatinya karena ia adalah khalifah yang benar-benar telah dibaiat.

Kaum muslimlah yang mengangkat seorang khalifah dan membaiat mereka dengan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, di samping khalifah mendapatkan kekuasaan hanya dengan adanya baiat tersebut.

Semua itu menjadi dalil tegas bahwa kekuasaan adalah milik umat yang umat bisa memberikannya kepada siapa saja yang mereka kehendaki. 

Memilih pemimin dalam Islam


Adapun batasan kepatuhan kepada pemimpin dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai berikut :

Dari Ibnu ‘Umar RA dari Nabi SAW ia bersabda: “Kewajiban setiap Muslim untuk mendengar dan mematuhi pemimpinnya, baik dalam hal yang ia sukai, maupun yang tidak disenangi, kecuali bila ia diperintah berbuat maksiat. Jika ia diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh didengar dan dipatuhi.” (Shahih al-Bukhari, hlm. 851). Wallahu a’lam bishawab.[EL]