Senin, 02 September 2024

Hasan bin Ali: Pemimpin yang Lebih Mencintai Umat Ketimbang Kekuasaan

Hasan bin Ali

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Hari Kemerdekaan baru saja berlalu, tapi dunia politik kita langsung disuguhi tayangan drama perebutan kekuasaan.

Rencana Revisi RUU Pilkada seusai keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait Pilkada telah memantik demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah termasuk di Gedung DPR/MPR RI sampai KPU Pusat dan di depan Istana Negara.

Imbas kericuhan Revisi RUU Pilkada, DPR bersama KPU sepakat mengakomodir Putusan MK ini dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terbaru tentang pencalonan kepala daerah Pilkada 2024. Mencuatlah sejumlah aturan penting, terkait batas usia 30 tahun bagi Calon Gubernur dan Cawagub pada saat penetapan. Juga perubahan ambang batas ambang minimal suara atau kursi bagi parpol dalam mengusung pasangan calon pada Pilkada Serentak 2024.

Akibatnya sejumlah partai politik putar haluan dari calon yang semula diusung. Panggung politik daerah menjadi ramai dan panas menjelang pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada 27-29 Agustus 2024.

Perebutan kepemimpinan antar partai politik, terasa mengabaikan kepentingan rakyat, hanya berebut kursi kekuasaan. Saat mereka berkuasa, rakyat sulit mendapatkan transparansi dalam proses pengambilan kebijakan akibat banyaknya deal-deal politik yang terjadi dalam proses politik tersebut.

Demonstrasi jelang pilkada
Jelang peralihan kekuasaan, kondisi memanas. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro

Kepemimpinan meniscayakan kekuasaan. Apabila oleng menetapkan tujuan kekuasaan, maka yang terjadi adalah kezaliman. Patut kita cermati, hakikat dari kepemimpinan itu dalam pandangan Islam.  

Rasululah Shallallahu alaihi wasallam bersabda mengenai urgensi kepemimpinan tersebut. “Idzaa kaana tsalasat[un] fii safar[in] fal yuammirru ahadahum (Ketika ada tiga orang dalam safar atau bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu dari mereka pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Dalam kaitannya dengan rakyat yang dipimpin, pemimpin berkewajiban melakukan ri’âyah atau pengaturan terhadap urusan rakyat. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Al-Imaam alladzii ‘alaa an-naasi raa’in wa huwa mas’uulun ‘an ra’iyyatih (Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin).” (HR Al-Bukhari).

Makna asal ar-ri’âyah adalah hifzh asy-syay‘i; menjaga dan memelihara sesuatu. Itulah tugas pemimpin terhadap rakyatnya. Menjaga dan memelihara akidah, darah, kehormatan, kekayaan, dan kehidupan mereka, dan lain-lain.

Islam mengecam keras pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sampai mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang dia urus. Beliau bersabda, “Allaahumma man waliya min amri ummatii syay’[an], fa syaqqa ‘alayhim, fasquq ‘alayh; wa man waliya min amri ummatii syay’[an] fa rafaqa bihim, farfuq bih (Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia menyayangi umatku, maka sayangilah ia).” (HR Muslim).

Apalagi pemimpin yang berani berlaku korup dan berbuat curang terhadap rakyatnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Maa min ‘abd[in] istar’ahulLaahu ra’iyyat[an] fa maata, wa huwa ghaasy[un] lahaa, illaa harramalLaahu ‘alayhi al-jannata (Tidak ada seorang hamba yang diamanahi oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga atas dirinya).” (HR Ath-Thabarani).

Dalam kekuasaan Islam, rakyat juga ikut memilih dan mengangkat penguasa (pihak yang mempunyai otoritas untuk mengatur urusan-urusan rakyat). Hanya saja kedaulatan tetap di tangan Allah Subhanahu wa Taala. Penguasa menjadi wakil rakyat dalam menerapkan/menjalankan hukum Allah di tengah kehidupan masyarakat.

Pemimpin yang bijak dan takut kepada Allah, akan memprioritaskan kesejahteraan dan kedamaian umat. Kita bisa bercermin pada kepemimpinan Hasan bin Ali.

Makna kekuasaan dalam Islam
Kekuasaan dalam Islam adalah 'melayani' umat dalam menegakan hukum Allah Taala

Hasan bin Ali adalah cucu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang lahir dari putri Rasullah bernama Fatimah. Hasan lahir di tahun ketiga Hijriah, sehingga sempat bersama Rasulullah selama tujuh tahun sebelum Rasulullah wafat pada tahun 11 Hijriah.

Muhammad bin Abdil Baqi Az-Zarqani dalam Syarhuz Zarqani menjelaskan, dalam sejarah telah terjadi pertempuran besar antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pada hari pertama bulan Safar tahun 37 H. Dampak dari pertempuran besar itu, orang-orang selalu berhati-hati untuk melakukan perjalanan bepergian.

Pertempuran ini terjadi karena setelah khalifah ketiga, Utsman bin Affan radhiyallahu anhu wafat, lalu Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dibaiat untuk menjadi khalifah oleh Alul Halli wal ‘Aqdi, yaitu sejumlah sahabat Rasulullah pilihan yang terlibat dalam musyawarah penentuan kebijaksanaan sistem kenegaraan serta pemilihan kepala negara. Setelah baiat dilakukan, terjadi penolakan dari Muawiyah bersama dengan orang-orang di Syam.

Ali bin Abi Thalib menulis surat agar Muawiyah mau taat kepada pemerintah. Akan tetapi dia menolak. Ali pun memeranginya. Terjadilah pertempuran besar antara dua kubu. Ali bin Abi Thalib ra, wafat pada 19 Ramadhan 40 Hijriah atau 28 Januari 661 Masehi,

Al-Hasan diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan ayahnya. Beliau dibaiat oleh 40 ribu warga Irak dan mereka berjanji setia kepadanya. Al-Hasan bin Ali ra menjabat sebagai khalifah selama enam bulan.

Setelah enam bulan masa kekhilafahan, Al-Hasan bin Ali ra pergi bersama para prajurit untuk memerangi orang-orang Syam, kemudian Muawiyah pergi menemuinya. Dalam pertemuan itu telah terjadi kesepakatan damai di antara mereka agar tidak terus-menerus terjadi pertumpahan darah.

Kesepakatan damai ini diambil oleh Al-Hasan ketika dua pasukan bertemu. Hasan berpikir jika menang ataupun kalah, akan banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Karena itu Al-Hasan memutuskan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah dan tidak akan menentangnya demi menghindari pertikaian.

Dalam perdamaian tersebut Al-Hasan menuliskan syarat-syaratnya. Syarat-syarat itu kemudian diterima sepenuhnya. Penyerahan kekuasaan dan usaha perdamaian ini juga merupakan bukti dari tanda kerasulan kakek beliau.

Rasulullah pernah berada di mimbar, sedangkan Hasan berada di sampingnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang tuan (sayyid). Semoga Allah mendamaikan dua golongan kaum muslim dengan perantara dia.” Kisah ini diriwayatkan Imam Bukhari dan kitab Sahih melalui riwayat Abu Bakrah.

Beberapa pengikut fanatik ahlul bait yang terkonsolidasi sejak zaman Ali bin Abi Thalib, sebagian mengecam dan menolak perdamaian tersebut. Seorang lelaki dari pengikut fanatik itu pernah memanggil Hasan bin Ali dengan sebutan “orang yang meninggalkan kaum mukmin.”

Hasan menjawabnya, “Meninggalkan masih lebih baik, daripada menyulut api (permusuhan).”

Sebagian lain malah memanggilnya dengan salam yang tak layak. “Salam kepadamu wahai orang yang menghinakan kaum mukmin.”

Atas salam ini beliau menjawab, “Aku bukanlah hendak menghinakan kaum mukmin, namun aku benci harus mengorbankan kalian demi kekuasaan.”

Keteladanan Sayidina Hasan bin Ali dengan mengorbankan kekuasaan demi maslahah umat, menginspirasi kita bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Kepentingan rakyat haruslah menjadi prioritas, selama rakyat diurus oleh seorang penguasa yang menjalankan syariat Allah. [EL]

 

Kontributor: Ummu Salwa.

Writer, Author 14 novel, dan Editor free-lance.