AMAZINGSEDEKAH.COM-
Hari Kemerdekaan baru saja berlalu, tapi dunia politik kita
langsung disuguhi tayangan drama perebutan kekuasaan.
Rencana Revisi RUU Pilkada seusai keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait Pilkada telah memantik demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah termasuk di Gedung DPR/MPR RI sampai KPU Pusat dan di depan Istana Negara.
Imbas kericuhan Revisi RUU Pilkada,
DPR bersama KPU sepakat mengakomodir Putusan MK ini dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) terbaru tentang pencalonan kepala daerah Pilkada 2024.
Mencuatlah sejumlah aturan penting, terkait batas usia 30 tahun bagi Calon
Gubernur dan Cawagub pada saat penetapan. Juga perubahan ambang batas ambang
minimal suara atau kursi bagi parpol dalam mengusung pasangan calon pada
Pilkada Serentak 2024.
Akibatnya
sejumlah partai politik putar haluan dari calon yang semula diusung. Panggung
politik daerah menjadi ramai dan panas menjelang pendaftaran pasangan calon
kepala daerah pada 27-29 Agustus 2024.
Perebutan kepemimpinan
antar partai politik, terasa mengabaikan kepentingan rakyat, hanya berebut
kursi kekuasaan. Saat mereka berkuasa, rakyat sulit mendapatkan transparansi
dalam proses pengambilan kebijakan akibat banyaknya deal-deal politik
yang terjadi dalam proses politik tersebut.
![]() |
Jelang peralihan kekuasaan, kondisi memanas. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro |
Kepemimpinan meniscayakan kekuasaan.
Apabila oleng menetapkan tujuan kekuasaan, maka yang terjadi adalah kezaliman. Patut
kita cermati, hakikat dari kepemimpinan itu dalam pandangan Islam.
Rasululah Shallallahu alaihi
wasallam bersabda mengenai urgensi kepemimpinan tersebut. “Idzaa kaana
tsalasat[un] fii safar[in] fal yuammirru ahadahum (Ketika ada
tiga orang dalam safar atau bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu
dari mereka pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Dalam kaitannya dengan rakyat yang
dipimpin, pemimpin berkewajiban melakukan ri’âyah atau pengaturan
terhadap urusan rakyat. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Al-Imaam
alladzii ‘alaa an-naasi raa’in wa huwa mas’uulun ‘an ra’iyyatih (Pemimpin yang
memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dia dimintai
pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin).” (HR Al-Bukhari).
Makna asal ar-ri’âyah adalah hifzh asy-syay‘i;
menjaga dan memelihara sesuatu. Itulah tugas pemimpin terhadap rakyatnya.
Menjaga dan memelihara akidah, darah, kehormatan, kekayaan, dan kehidupan
mereka, dan lain-lain.
Islam mengecam keras pemimpin yang
tidak menjalankan tugas tersebut. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
sampai mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang dia urus.
Beliau bersabda, “Allaahumma
man waliya min amri ummatii syay’[an], fa syaqqa ‘alayhim, fasquq ‘alayh; wa
man waliya min amri ummatii syay’[an] fa rafaqa bihim, farfuq bih (Ya Allah,
siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku,
maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia
menyayangi umatku, maka sayangilah ia).” (HR Muslim).
Apalagi pemimpin yang berani berlaku
korup dan berbuat curang terhadap rakyatnya. Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Maa min ‘abd[in] istar’ahulLaahu ra’iyyat[an] fa maata, wa huwa
ghaasy[un] lahaa, illaa harramalLaahu ‘alayhi al-jannata (Tidak ada
seorang hamba yang diamanahi oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu dia mati
dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga atas
dirinya).” (HR Ath-Thabarani).
Dalam
kekuasaan Islam, rakyat juga ikut memilih dan mengangkat penguasa (pihak yang
mempunyai otoritas untuk mengatur urusan-urusan rakyat). Hanya saja kedaulatan
tetap di tangan Allah Subhanahu wa Taala. Penguasa menjadi wakil rakyat
dalam menerapkan/menjalankan hukum Allah di tengah kehidupan masyarakat.
Pemimpin yang bijak dan takut kepada
Allah, akan memprioritaskan kesejahteraan dan kedamaian umat. Kita bisa
bercermin pada kepemimpinan Hasan bin Ali.
![]() |
Kekuasaan dalam Islam adalah 'melayani' umat dalam menegakan hukum Allah Taala |
Hasan bin Ali
adalah cucu Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam yang lahir
dari putri Rasullah bernama Fatimah. Hasan lahir di tahun ketiga Hijriah, sehingga
sempat bersama Rasulullah selama tujuh tahun sebelum Rasulullah wafat pada
tahun 11 Hijriah.
Muhammad bin
Abdil Baqi Az-Zarqani dalam Syarhuz Zarqani menjelaskan, dalam sejarah telah
terjadi pertempuran besar antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pada hari
pertama bulan Safar tahun 37 H. Dampak dari pertempuran besar itu, orang-orang
selalu berhati-hati untuk melakukan perjalanan bepergian.
Pertempuran
ini terjadi karena setelah khalifah ketiga, Utsman bin Affan radhiyallahu anhu
wafat, lalu Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dibaiat untuk menjadi
khalifah oleh Alul Halli wal ‘Aqdi, yaitu sejumlah sahabat Rasulullah pilihan
yang terlibat dalam musyawarah penentuan kebijaksanaan sistem kenegaraan serta
pemilihan kepala negara. Setelah baiat dilakukan, terjadi penolakan dari
Muawiyah bersama dengan orang-orang di Syam.
Ali bin Abi
Thalib menulis surat agar Muawiyah mau taat kepada pemerintah. Akan tetapi dia
menolak. Ali pun memeranginya. Terjadilah pertempuran besar antara dua kubu.
Ali bin Abi Thalib ra, wafat pada 19 Ramadhan 40 Hijriah atau 28 Januari 661
Masehi,
Al-Hasan
diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan ayahnya. Beliau dibaiat oleh 40
ribu warga Irak dan mereka berjanji setia kepadanya. Al-Hasan bin Ali ra
menjabat sebagai khalifah selama enam bulan.
Setelah enam
bulan masa kekhilafahan, Al-Hasan bin Ali ra pergi bersama para prajurit untuk
memerangi orang-orang Syam, kemudian Muawiyah pergi menemuinya. Dalam pertemuan
itu telah terjadi kesepakatan damai di antara mereka agar tidak terus-menerus
terjadi pertumpahan darah.
Kesepakatan
damai ini diambil oleh Al-Hasan ketika dua pasukan bertemu. Hasan berpikir jika
menang ataupun kalah, akan banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Karena itu
Al-Hasan memutuskan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah dan tidak
akan menentangnya demi menghindari pertikaian.
Dalam
perdamaian tersebut Al-Hasan menuliskan syarat-syaratnya. Syarat-syarat itu
kemudian diterima sepenuhnya. Penyerahan
kekuasaan dan usaha perdamaian ini juga merupakan bukti dari tanda kerasulan
kakek beliau.
Rasulullah pernah berada di mimbar,
sedangkan Hasan berada di sampingnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
anakku ini adalah seorang tuan (sayyid). Semoga Allah mendamaikan dua golongan kaum
muslim dengan perantara dia.” Kisah ini diriwayatkan Imam Bukhari dan kitab
Sahih melalui
riwayat Abu Bakrah.
Beberapa pengikut fanatik ahlul bait yang
terkonsolidasi sejak zaman Ali bin Abi Thalib, sebagian mengecam dan menolak
perdamaian tersebut. Seorang lelaki dari pengikut fanatik itu pernah memanggil Hasan
bin Ali dengan sebutan “orang yang meninggalkan kaum mukmin.”
Hasan menjawabnya, “Meninggalkan
masih lebih baik, daripada menyulut api (permusuhan).”
Sebagian lain malah memanggilnya
dengan salam yang tak layak. “Salam kepadamu wahai orang yang menghinakan kaum
mukmin.”
Atas salam ini beliau menjawab, “Aku
bukanlah hendak menghinakan kaum mukmin, namun aku benci harus mengorbankan
kalian demi kekuasaan.”
Keteladanan Sayidina Hasan bin Ali
dengan mengorbankan kekuasaan demi maslahah umat, menginspirasi kita bahwa kekuasaan
bukanlah segala-galanya. Kepentingan rakyat haruslah menjadi prioritas, selama
rakyat diurus oleh seorang penguasa yang menjalankan syariat Allah. [EL]
Kontributor: Ummu Salwa.
Writer, Author
14 novel, dan Editor free-lance.