AMAZINGSEDEKAH.COM - Momen Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tahun pada tanggal 23 Juli, terciderai berita aksi penganiayaan anak oleh pengasuhnya. Video viral yang menunjukkan penganiayaan di sebuah daycare atau tempat penitipan anak, memicu kemarahan masyarakat. Yang lebih membuat geram, pemilik daycare tersebut ternyata adalah seorang influencer parenting yang kerap menyerukan anti kekerasan terhadap anak serta mengopinikan cara mendidik anak dengan baik. Sungguh ironis.
Tak ayal lagi, pemilik daycare itu pun ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus penganiayaan sejumlah balita yang jadi anak asuhnya. Kuasa hukum
korban menyebutkan dugaan penganiayaan terungkap setelah orang tua curiga ada
luka lebam pada tubuh korban. Diperkuat keterangan guru dari tempat penitipan
anak tersebut. Begitu mengetahui anaknya jadi korban kekerasan, orang tua
korban langsung meminta perlindungan hukum kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Sementara untuk penanganan hukum, seluruh bukti telah diserahkan ke
kepolisian. Polisi menjelaskan bahwa tersangka telah mengaku salah dan motifnya
adalah khilaf.
Usut punya usut, ternyata daycare tersebut belum
mengantongi izin dari instansi yang berwenang yakni depdikbud. Padahal telah
beroperasi bertahun-tahun. Kenyataan tersebut menuai pertanyaan dari berbagai
pihak mengenai fungsi monitoring dari stake holder.
![]() |
Ilustrasi kasus kekerasan terhadap anak masih menjadi momok besar. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro |
Kasus kekerasan terhadap anak ternyata bukan pertama kali.
Sebelumnya di tahun 2023 pernah pula terjadi di daycare yang lain.
Kekerasan pada anak dilakukan pula oleh orang terdekat. Sebelumnya di awal Juli
lalu, juga viral tayangan video tentang aksi kasar seorang asisten
rumah tangga (ART) terhadap bayi yang dijaganya. Aksi tersebut terekam lewat
kamera CCTV di rumah orang tua korban. Belakangan, diketahui bayi yang dikasari
oleh ART tersebut adalah anak dari TikTokers terkenal.
Fenomena meresahkan ini akhirnya membuat para ibu bekerja menjadi
galau memilih daycare untuk menitipkan anaknya. Dalam sebuah wawancara,
seorang psikolog terkenal menyampaikan bahwa kita harus berhati-hati dalam
memilih daycare. Pastikan tempat penitipan anak tersebut telah memiliki
izin dari instansi terkait. Pengasuhnya harus dilihat kompetensi dan
pengalamannya, bukan sekadar influencer.
Banyak pihak berharap, negara melakukan pengawasan kontinu
terhadap setiap daycare serta memfasilitasi pendampingan psikologis bagi
korban.
Dalam sejarah
Islam, penitipan anak bukanlah sesuatu yang baru. Teladan kita Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam pun pernah dititipkan oleh ibunya kepada ibu susuan. Ibu
susu Rasullullah adalah Halimah binti Abi Dzuaib As-Sa’diyah radhiyallahu
‘anha.
Kisah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dititipkan pada masa
balita sangat terkenal dalam kitab-kitab Sirah yang dikisahkan langsung oleh
Halimah As-Sa’diyah radhiyallahu ‘anha.
Bangsawan dan pemuka-pemuka
Arab di Hijaz, terutama Makah, memiliki tradisi menitipkan anak-anak mereka, beberapa
hari setelah kelahirannya, kepada perempuan dari pedalaman untuk disusui.
Tujuannya agar bayi-bayi itu terhindar dari penyakit yang biasa menyebar di
perkotaan dan agar fisiknya bisa tumbuh sehat di tengah-tengah hawa pedalaman
yang segar. Juga agar bayi-bayi mereka terlatih berbahasa Arab yang murni dan fasih
sejak kecil. Anak-anak itu akan tinggal di pedalaman sampai usianya sekitar 7-8
tahun.
Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam dititipkan oleh kakek dan ibunya, dengan tujuan tersebut.
Terlihat betapa keluarga beliau sangat memperhatikan siapa dan di mana lokasi
penitipan yang tepat bagi tumbuh kembang beliau. Tentu berjalannya pengasuhan
tetap berada dalam pengawasan keluarga, tidak dilepaskan begitu saja.
Dewasa ini, terlepas dari kegalauan para orang tua, khususnya ibu
bekerja, dalam memilih daycare yang tepat, tentu harus kita kritisi
dulu, siapa sebenarnya yang memiliki kewajiban mengasuh anak. Dalam pandangan
Islam, orang tua, terutama ibu, memiliki peran utama dalam mengasuh,
membesarkan, dan mendidik anak-anaknya. Artinya, sebagai orang tua tidak boleh
berlepas tangan dari pengasuhan ini.
Hanya saja, apakah lantas menitipkan anak tidak boleh? Siapa yang berhak
dititipi jika orang tua terkendala mengasuh anaknya sendiri?
![]() |
Pengasuhan anak dalam Islam adalah tanggung jawab orang tua. Foto: Amazing Sedekah/Canvapro |
Allah berfirman dalam Al-Qur’an
Surah At-Tahrim ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
pembinaan dan pendidikan anak, menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Bahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memikulkan tanggung jawab
pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu
‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Setiap kalian adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang
imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga
seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Hadis ini menunjukkan bahwa
kelak seorang wanita akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap anak-anaknya.
Tanggung jawabnya tidak akan berpindah begitu saja walau ia menitipkan anaknya
pada orang lain. Jika sesekali saja karena ada uzur, maka tidak apa-apa. Akan
tetapi, jika dilakukan terus menerus, maka ini tidak diperkenankan.
Pengasuhan anak dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah “hadhanah”, berasal dari kata “hidhan”
yang berarti lambung. Seperti dalam kalimat “hadhanan at-thairu baidhahu” (burung
itu mengempit telur di bawah sayapnya). Lebih tepatnya hadanah ini diartikan
dengan pemeliharaan dan pendidikan.
Definisi hadanah menurut para
ahli fikih adalah pemeliharaan anak-anak yang masih kecil—laki-laki ataupun
perempuan yang belum tamyiz—untuk menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya; menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusak; mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawabnya.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani
dalam kitab Nizham al-Ijtima’i bab “Hadanah” menyatakan bahwa pengasuhan
anak (hadanah) merupakan kewajiban, sebab dengan menelantarkan anak, ia akan
binasa. Hadanah termasuk kategori menjaga jiwa (hifzh al-nafs) yang
telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala wajibkan.
Maka dari itu, pengasuhan anak
tidak boleh diserahkan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, sebab akan
membahayakan anak tersebut. Juga tidak diberikan kepada orang yang dapat
menelantarkan anak karena tidak berakal, lalai atau sibuk. Pengasuhan anak
tidak diberikan kepada orang yang bersifat buruk, seperti fasik (pezina,
peminum khamar, pendusta, dan lain-lain.) karena akan mengakibatkan anak tumbuh
dengan sifat-sifat rusak dan kerusakan akan menyebabkan kebinasaan. Pengasuhan
anak juga tidak dapat diserahkan kepada orang kafir, kecuali pengasuhan oleh
ibu atas anaknya.
Adapun ahl al-hidhanah (orang
yang berhak dalam pengasuhan anak) yang pertama adalah ibu. Dalam hadis Nabi shallallahu
alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim dari Abdulllah
bin ‘Amr, bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya
ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah
menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Akan tetapi, bapaknya
telah menceraikan daku dan hendak menceraikan ia pula dari sisiku.” Maka
Rasulullah bersabda, “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi
belum menikah dengan orang lain.”
Selanjutnya jika ibu
berhalangan mengasuh anaknya, maka pengasuhan berpindah pada pada pihak
keluarga dari jalur ibu. Jika dari jalur ibu tak ada yang layak mengasuh, maka
pengasuhan anak berpindah ke pihak dari jalur ayah.
Demikianlah, Islam memiliki cara yang detail dan terperinci
terkait hadanah untuk memastikan anak mendapatkan hak asuh dengan baik dan
berkualitas sehingga terhindar dari kerusakan dan kebinasaan.
Agar pengasuhan anak bisa berjalan secara optimal, negara bertanggung jawab dan wajib memastikan berjalannya mekanisme untuk mewujudkan fungsi hadanah ibu dan keluarga kepada anaknya. Mulai dari terpenuhinya kebutuhan pokok individual (sandang, pangan, papan) hingga kebutuhan pokok yang bersifat publik (kesehatan, pendidikan, dan keamanan).
Artinya, kesejahteraan kaum ibu akan terjamin sehingga menciptakan kondisi yang nyaman dan aman bagi ibu dan anak. Tidak ada lagi kebingungan memilih daycare. Hanya saja, kondisi tersebut baru terwujud jika kita hidup dalam aturan kehidupan Islam secara menyeluruh. Wallahualam. [EL]