AMAZINGSEDEKAH.COM- Bulan Rabiul-Awal, bulan Maulid. Bulannya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam dilahirkan. Sebuah momentum bersejarah yang diperingati mayoritas umat Islam dengan memperbanyak shalawat, zikir, atau ceramah agama terkait nabi, sebagai manifestasi rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam.
Menurut catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam,
pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, pada
masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Menurut sumber
lain, yang pertama mencetuskan ide peringatan Maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam,
adalah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri.
Sultan Salahuddin kala itu mengadakan peringatan maulid dengan
tujuan membakar semangat Umat Islam, khususnya mental tentara Muslim yang nyaris
padam dalam menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut
tanah suci Yerusalem dari tangan kaum Muslim. (Al-Islam, ed. 348, tahun 2007)
![]() |
Awal mula perayaan Maulid Nabi untuk membakar semangat kaum muslimin saat menghadapi pasukan Salib. Foto: ASF/Canvapro |
Ide Salahuddin untuk memperingati Maulid Nabi tidak disetujui oleh
beberapa ulama, karena dari zaman Nabi peringatan tersebut tidak pernah ada.
Lagi pula hari raya umat Islam hanya ada dua, yaitu Idul fitri dan Idul Adha.
Namun, Salahuddin menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi hanyalah kegiatan
yang bersifat syiar agama, bukan perayaan ritual ibadah, sehingga tidak bisa
dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Ketika itu Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir
di Baghdad, dan khalifah mengizinkan Salahuddin mengadakan peringatan Maulid
Nabi.
Pada saat ibadah haji di bulan Dzulhijjah 579 Hijriyah (1183
Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai pemimpin Haramain memberikan
instruksi kepada seluruh jemaah haji agar ketika mereka kembali ke kampung
halaman masing-masing, menyampaikan informasi bahwa mulai tahun 580 Hijriah
(1184 Masehi), setiap tanggal 12 Rabiul-Awal ditetapkan sebagai Maulid Nabi.
Hari itu bisa diisi dengan berbagai kegiatan yang dapat membangkitkan semangat
umat Islam.
Setelahnya, Maulid Nabi menjadi sebuah tradisi yang
berkembang di dalam masyarakat Islam, dari masa ke masa serta turun temurun
dari setiap generasi ke generasi.
Para ulama terpecah menjadi dua kelompok dalam menyikapi hukum
peringatan (ihtifal) Maulid Nabi ini.
Pihak yang menolak perayaan maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam
berargumentasi bahwa maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam adalah ibadah yang
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah sendiri. Padahal hukum asal ibadah
adalah tawqifi, memerlukan dalil khusus. Nyatanya tidak ditemukan dalil
spesifik yang “mensyariatkan” peringatan maulid Nabi.
Sa’id bin Ali al-Qahthani menulis: “Perayaan maulid adalah bid’ah
yang dibuat-buat dalam agama. Di mana Allah tidak pernah menurunkan ajaran
tentangnya. Sebab Nabi tidak pernah mensyariatkannya melalui sabdanya, perbuatannya,
maupun taqrirnya.”
Pihak yang mendukung Maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam
menyatakan bahwa pada hakikatnya peringatan maulid tersebut bukanlah ibadah. Namun
semata tradisi (adat) dan tidak ditemukan dalil eksplisit yang mengharamkannya.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa peringatan maulid
Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, hakikatnya semata tradisi sebagaimana
tradisi-tradisi mubah lainnya. Seperti tradisi memperingati hari kemerdekaan,
tradisi walimahan, dan semisalnya. Dan karenanya, persepsi bahwa maulid Nabi
dinilai sebagai ibadah yang diada-adakan, tentunya tertolak oleh persepsi pihak
yang mengamalkan maulid Nabi yang menganggapnya sebagai tradisi semata.
Peringatan maulid menjadi tradisi yang niatnya untuk membangkitkan
cinta dan semangat untuk meneladani nabi, tapi tidak menjadikannya sebagai
ibadah khusus.
Syaikh Ibnu Taimiyyah al-Harrani (w. 728 H) berkata: “Demi Allah,
mereka (yang merayakan maulid) mungkin bisa mendapatkan pahala atas dasar cintanya
(kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam) dan ijtihad yang mendasarinya.
Bukan atas dasar bid’ah dengan menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai ied.”
Terlepas dari pro dan kontra hukum perayaan Maulid Nabi, tentunya
esensi dari semua itu adalah bagaimana kita membuktikan rasa cinta kepada Nabi
Shallallahu ’alaihi wasallam dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan
bernegara.
Allah Subhanahu wa taala
memerintahkan seorang mukmin untuk menunjukkan cinta kepada-Nya dengan
mengikuti Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Firman-Nya, “Katakanlah
(Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS Ali Imran: 31).
![]() |
Langkah konkrit mencintai Rasulullah adalah dengan mengikuti sunnahnya. Foto: ASF/Canvapro |
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat
ini menentukan hukum bagi siapa saja yang mengeklaim kecintaannya kepada Allah,
tetapi tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam. Ia adalah orang yang berdusta atas klaimnya pada
perkara yang sama, sehingga ia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad dalam
semua perkataan, perbuatan, dan keadaannya.
Berdasarkan firman Allah dalam
QS Ali Imran ayat 31 jelas bahwa mengikuti Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam (itibak) merupakan tuntutan keimanan dan wujud
cinta kita pada Allah Taala. Berikutnya, penting dipahami tentang itibak yang
benar, itibak yang sesuai dengan tuntutan Allah.
Terkait hal ini, Allah
menjelaskan kepada kita dalam firman-Nya QS Al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan ia
banyak menyebut Allah.”
Imam Ibnu Katsir mengatakan,
“Ayat yang mulia ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu’alaihiwasallam, baik berupa akidah, syariat atau ibadah, akhlak,
dakwah, politik atau yang lainnya. Kita wajib itibak, tidak hanya dalam hal
ibadah atau akhlak beliau Shallallahu’alaihiwasallam, tetapi harus menyeluruh.”
(Tafsir Ibnu Katsir, III/522).
Posisi Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam
sebagai pemimpin negara dan memiliki kewenangan sebagai pengatur urusan
rakyatnya, dijelaskan Allah Subhanahu wa taala dalam firman-Nya, “Apa saja
yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas
kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah amat keras
hukumannya.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Imam Az-Zamakhsyari (w. 538 H)
akan lebih tepat mengartikan ayat ini secara umum, yakni meliputi segala yang
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam berikan dan segala yang beliau larang. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
4/503).
Kepemimpinan yang diwariskan
Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam itu dilanjutkan oleh para khalifah pengganti
beliau (Khulafaurasyidin). Dalam khazanah fiqih disebut khilafah dan itu
termasuk sunah yang wajib diikuti oleh umatnya. Hal ini ditegaskan beliau dalam
sabdanya, “Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunahku dan Sunah
Khulafaurasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham.”
(HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
Maulid Nabi hendaknya tak hanya
seremoni belaka. Namun, harus menjadi momen yang me-refresh bukti cinta
kita berupa komitmen mengikuti Sunah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam secara
kaffah. Jadikan sebagai renungan, sudahkah kita sudah melayakkan diri sebagai
umat Baginda Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, sehingga berkesempatan meraih
tiket syafaat beliau di akhirat kelak? Kita memohon kepada Allah, semoga
dijauhkan dari golongan yang membenci Sunah Nabi, golongan yang akan
dikeluarkan dari golongan umat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam. [EL]
***
Kontributor: Ummu
Salwa. Writer, author, dan editor freelance.
Kirimkan Wakaf Terbaikmu untuk saudara kita yang membutuhkan ke https://linktr.ee/amazingsedekah