Selasa, 17 September 2024

Maulid Nabi, Sebuah Renungan: Layakkah Kita Diberkahi Syafaatnya?

Hukum merayakan maulid nabi

 

AMAZINGSEDEKAH.COM- Bulan Rabiul-Awal, bulan Maulid. Bulannya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam dilahirkan. Sebuah momentum bersejarah yang diperingati mayoritas umat Islam dengan memperbanyak shalawat, zikir, atau ceramah agama terkait nabi, sebagai manifestasi rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam.

Menurut catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Menurut sumber lain, yang pertama mencetuskan ide peringatan Maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, adalah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri.

Sultan Salahuddin kala itu mengadakan peringatan maulid dengan tujuan membakar semangat Umat Islam, khususnya mental tentara Muslim yang nyaris padam dalam menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Yerusalem dari tangan kaum Muslim. (Al-Islam, ed. 348, tahun 2007)

Awal mula perayaann Maulid Nabi
Awal mula perayaan Maulid Nabi untuk membakar semangat kaum muslimin saat menghadapi pasukan Salib. Foto: ASF/Canvapro

Ide Salahuddin untuk memperingati Maulid Nabi tidak disetujui oleh beberapa ulama, karena dari zaman Nabi peringatan tersebut tidak pernah ada. Lagi pula hari raya umat Islam hanya ada dua, yaitu Idul fitri dan Idul Adha. Namun, Salahuddin menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang bersifat syiar agama, bukan perayaan ritual ibadah, sehingga tidak bisa dikategorikan bid’ah yang terlarang.

Ketika itu Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Baghdad, dan khalifah mengizinkan Salahuddin mengadakan peringatan Maulid Nabi.

Pada saat ibadah haji di bulan Dzulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai pemimpin Haramain memberikan instruksi kepada seluruh jemaah haji agar ketika mereka kembali ke kampung halaman masing-masing, menyampaikan informasi bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi), setiap tanggal 12 Rabiul-Awal ditetapkan sebagai Maulid Nabi. Hari itu bisa diisi dengan berbagai kegiatan yang dapat membangkitkan semangat umat Islam.

Setelahnya, Maulid Nabi  menjadi sebuah tradisi yang berkembang di dalam masyarakat Islam, dari masa ke masa serta turun temurun dari setiap generasi ke generasi.

Para ulama terpecah menjadi dua kelompok dalam menyikapi hukum peringatan (ihtifal) Maulid Nabi ini.

Pihak yang menolak perayaan maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam berargumentasi bahwa maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam adalah ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah sendiri. Padahal hukum asal ibadah adalah tawqifi, memerlukan dalil khusus. Nyatanya tidak ditemukan dalil spesifik yang “mensyariatkan” peringatan maulid Nabi.

Sa’id bin Ali al-Qahthani menulis: “Perayaan maulid adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama. Di mana Allah tidak pernah menurunkan ajaran tentangnya. Sebab Nabi tidak pernah mensyariatkannya melalui sabdanya, perbuatannya, maupun taqrirnya.”

Pihak yang mendukung Maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam menyatakan bahwa pada hakikatnya peringatan maulid tersebut bukanlah ibadah. Namun semata tradisi (adat) dan tidak ditemukan dalil eksplisit yang mengharamkannya.

Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, hakikatnya semata tradisi sebagaimana tradisi-tradisi mubah lainnya. Seperti tradisi memperingati hari kemerdekaan, tradisi walimahan, dan semisalnya. Dan karenanya, persepsi bahwa maulid Nabi dinilai sebagai ibadah yang diada-adakan, tentunya tertolak oleh persepsi pihak yang mengamalkan maulid Nabi yang menganggapnya sebagai tradisi semata.

Peringatan maulid menjadi tradisi yang niatnya untuk membangkitkan cinta dan semangat untuk meneladani nabi, tapi tidak menjadikannya sebagai ibadah khusus.

Syaikh Ibnu Taimiyyah al-Harrani (w. 728 H) berkata: “Demi Allah, mereka (yang merayakan maulid) mungkin bisa mendapatkan pahala atas dasar cintanya (kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam) dan ijtihad yang mendasarinya. Bukan atas dasar bid’ah dengan menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai ied.”

Terlepas dari pro dan kontra hukum perayaan Maulid Nabi, tentunya esensi dari semua itu adalah bagaimana kita membuktikan rasa cinta kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.

Allah Subhanahu wa taala memerintahkan seorang mukmin untuk menunjukkan cinta kepada-Nya dengan mengikuti Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Firman-Nya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31).

Langkah konkrit mencintai Rasululllah
Langkah konkrit mencintai Rasulullah adalah dengan mengikuti sunnahnya. Foto: ASF/Canvapro

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini menentukan hukum bagi siapa saja yang mengeklaim kecintaannya kepada Allah, tetapi tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam. Ia adalah orang yang berdusta atas klaimnya pada perkara yang sama, sehingga ia mengikuti syariat dan agama Nabi Muhammad dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaannya.

Berdasarkan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 31 jelas bahwa mengikuti Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam (itibak) merupakan tuntutan keimanan dan wujud cinta kita pada Allah Taala. Berikutnya, penting dipahami tentang itibak yang benar, itibak yang sesuai dengan tuntutan Allah.

Terkait hal ini, Allah menjelaskan kepada kita dalam firman-Nya QS Al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan ia banyak menyebut Allah.”

Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat yang mulia ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu’alaihiwasallam, baik berupa akidah, syariat atau ibadah, akhlak, dakwah, politik atau yang lainnya. Kita wajib itibak, tidak hanya dalam hal ibadah atau akhlak beliau Shallallahu’alaihiwasallam, tetapi harus menyeluruh.” (Tafsir Ibnu Katsir, III/522).

Posisi Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam sebagai pemimpin negara dan memiliki kewenangan sebagai pengatur urusan rakyatnya, dijelaskan Allah Subhanahu wa taala dalam firman-Nya, “Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Imam Az-Zamakhsyari (w. 538 H) akan lebih tepat mengartikan ayat ini secara umum, yakni meliputi segala yang Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam berikan dan segala yang beliau larang. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).

Kepemimpinan yang diwariskan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam itu dilanjutkan oleh para khalifah pengganti beliau (Khulafaurasyidin). Dalam khazanah fiqih disebut khilafah dan itu termasuk sunah yang wajib diikuti oleh umatnya. Hal ini ditegaskan beliau dalam sabdanya, “Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunahku dan Sunah Khulafaurasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

Maulid Nabi hendaknya tak hanya seremoni belaka. Namun, harus menjadi momen yang me-refresh bukti cinta kita berupa komitmen mengikuti Sunah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam secara kaffah. Jadikan sebagai renungan, sudahkah kita sudah melayakkan diri sebagai umat Baginda Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, sehingga berkesempatan meraih tiket syafaat beliau di akhirat kelak? Kita memohon kepada Allah, semoga dijauhkan dari golongan yang membenci Sunah Nabi, golongan yang akan dikeluarkan dari golongan umat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam. [EL]

***

Kontributor: Ummu Salwa. Writer, author, dan editor freelance.


Kirimkan Wakaf Terbaikmu untuk saudara kita yang membutuhkan ke https://linktr.ee/amazingsedekah